Sudah satu bulan. Empat minggu. Tiga puluh hari. Tiga puluh kali pergantian siang dan malam. Tujuh ratus dua puluh jam. Empat puluh tiga ribu dua ratus menit. Detik mungkin tak perlu kuhitung. Selama itu waktu yang kamu habiskan hanya untuk menghukum dirimu sendiri. Menghukum diri sendiri atas kesalahan yang sepenuhnya bukanlah milikmu. Kamu tak pernah lagi bangun di pagi hari. Kamu tidur sepanjang hari. Kamu tak pernah lagi memandangku. Kamu menatap kehampaan sepanjang waktu. Bahkan, untuk menggerakkan setitik jari saja, kamu tak kuasa. Aku selalu ada disisimu. Selalu. Bahkan sepanjang waktu, hanya untuk melihatmu berdiam diri atau menangis. Kamu tidak mau berbicara. Aku selalu bertanya, apalagi yang salah? Kamu menatapku. Bukan jawaban, hanya tangisanlah yang lolos dari bibir tipismu. Disaat seperti itu aku selalu memeluk tubuhmu yang meringkuk tak bergerak. Apakah kamu tidak sakit? Maksudku, dengan posisi tubuhmu selama sebulan ini diatas ranjang. Tidakkah kamu rindu untuk bangun, berjalan, berlari, bersamaku, seperti hari-hari sebelum sebulan lalu? Aku bahkan sudah lupa bagaimana rupamu sebulan sebelum hari ini. Yang bisa kuingat hanyalah jeritan, tangisan, penderitaan yang seolah tiada akhir darimu. Kamu tidak salah. Sudah berapa ratus kali aku bisikan itu ditelingamu. Dan disaat itulah tangismu semakin menjadi. Lalu, haruskah aku berkata bahwa memang kamulah yang bersalah? Kamu bersalah atas segalanya. Bersalah atas semua yang menimpamu, diriku, dia dan semua orang yang juga menderita karena dirimu? Aku, dia, mereka, menderita karena kamu tak jua berhenti menyalahkan dirimu.
Aku mengingat hari itu sebagaimana kamu juga mengingatnya. Aku mengingat bagaimana kejadian itu berlangsung dan aku hanya diam membisu. Segala cara telah dilakukan tetapi kamu belum mau menerima. Bukan kamu. Tetapi, aku. Kita. Haruskah aku berteriak, bahwa aku yang sebenarnya bersalah? Lalu, haruskah aku sama sepertimu, menghukum diriku sendiri dan tidak melanjutkan kehidupan? Aku menerima. Bukankah itu yang seharusnya dilakukan pula olehmu? Lalu mengapa kamu masih seperti ini. Apa bedanya, jika kini kita hanya berdua, namun sebelumnya kita bertiga? Bukankah aku yang lebih dulu bertemu denganmu? Aku yang pertama kali mencintaimu dan memilikimu. Mungkin memang ada bedanya. Ya, akupun merasakannya. Meski hanya sesaat, aku begitu mencintai dia, sama sepertimu. Namun, aku tidak paham dengan cinta jenis apa yang kamu berikan kepadanya, hingga setelah dia tiada kamu masih saja menderita tanpa akhir. Sesakit itukah akibat dari jenis cinta yang telah kamu berikan?
Kini, izinkah aku untuk memelukmu lagi. Kembali membisikan kata-kata bahwa bahkan sebenarnya tidak ada yang salah. Aku ataupun kamu, tidak pernah salah. Apapun atau siapapun tiada yang salah. Berhentilah menangis karena setiap air mata yang kamu tumpahkan mengirimkan penderitaan berkali-kali lipat kepadaku. Aku benci melihatmu menangis. Aku merindukan senyummu, tawamu dan obrolan konyolmu. Aku juga merindukan momen ketika malam tiba dan kita tertidur sambil memeluk satu sama lain. Bukan seperti ini.
“Kamu tidak salah. Tidak ada yang perlu disalahkan.”
Kamu menangis lagi sampai bahumu berguncang. Aku terus memelukmu, bahkan mungkin sampai kamu sulit untuk bernapas.
“Jika memang ada yang salah katakan. Katakanlah kesalahan apa yang telah kita perbuat?”
Tenggorokanku tercekat. Mataku terasa perih namun aku takkan menangis. Tangismu saja sudah cukup membuatku menderita. Aku tidak mau jatuh karena aku tahu kamu sebenarnya membutuhkanku untuk mengobati luka hatimu.
“Katakan...” bisikku perlahan.
Kamu masih saja menangis dengan erangan penderitaan yang takkan mampu kutangguhkan. Lalu, pertanyaan itu terlintas begitu saja di dalam diriku. Pertanyaan tentang cinta jenis apa yang selama tujuh tahun ini kamu berikan kepadaku. Samakah dengan cinta yang kamu berikan kepada dia, yang baru hadir dihidup kita setahun lalu? Apakah kamu juga akan seperti ini ketika aku pergi? Hancur. Bukankah aku lebih berarti darinya karena aku lebih dulu dan lebih lama hadir dihidupmu? Ini sungguh tidak adil. Kamu sepertinya lebih menderita jika ditinggalkan dia dibanding diriku.
“Dengarkan aku baik-baik... Tidak ada yang salah, paham?”
Kamu menangis bahkan kali ini menjerit. Aku ingin mengatakan padamu, bahwa aku juga masih mengingat setiap detik ketika peristiwa itu terjadi. Saat dimana kita pulang dan yang terlihat hanyalah kobaran api dan asap hitam yang membumbung tinggi. Aku terdiam dan kamu dengan gilanya mencoba berlari menembus para petugas pemadam kebakaran menuju rumah yang sudah tak berbentuk lagi. Aku lalu menghentikanmu dan kamu berteriak seperti orang gila. Kamu mencakar dan memukul-mukul diriku. Kamu bahkan menamparku waktu itu. Kamu berkata bahwa seharusnya kita tidak pergi. Seharusnya tidak ada perayaan tujuh tahun pernikahan kita di restoran mewah itu. Seharusnya kita dirumah, menemani dia. Menyelamatkan dia dari pedihnya jilatan api yang pada akhirnya menghanguskan tubuh kecilnya yang masih berumur setahun. Kamu meneriaki semua yang ada disekelilingmu. Kamu berkata bahwa kamu ingin mati saja. Kamu tidak bisa melanjutkan hidup dengan kenyataan bahwa dia telah tiada. Aku memelukmu, menciummu, menenangkanmu disaat kamu terus menjerit dan menangis. Tapi kamu terus meronta dariku. Aku ingin menangis, namun tidak di saat kamu membutuhkan sandaranku. Tidak disaat satu-satunya wanita yang paling aku cintai sedang menderita dan memilih untuk mati. Aku bertahan. Aku bertahan selama sebulan hanya untuk menyembuhkan lukamu. Juga lukaku.
“Hentikan semuanya! Kamu tidak salah! Aku yang salah! Bunuh aku jika kamu mau tetapi berhentilah menangis! Lanjutkan hidupmu, kembalilah seperti dulu...”
Aku menarik tubuhmu dengan kasar agar aku bisa menatap matamu. Aku mencengkram bahumu ketika kamu terus meronta dariku.
“Apa gunanya tujuh tahun kebersamaan kita? Hah? Tidak berhargakah itu?”
Aku kini benar-benar berteriak. Aku melampiaskan segalanya. Segalanya.
“Apakah tujuh tahun bersamaku tidak ada harganya jika dibandingkan satu tahun bersama dia? Apakah jika bisa memilih, kamu akan memilih kehilangan diriku daripada dia? Katakan!”
Untuk pertama kalinya kamu benar-benar menatapku. Kamu menatapku dengan air mata yang menggenang dipelupuk matamu. Aku sedikit luluh. Aku melonggarkan tanganmu dibahumu. Bibirku bergetar karena untuk pertama kalinya aku merasakan kebahagiaan sederhana. Hanya dengan kamu kembali menatapku seperti dulu, aku merasa amat sangat bahagia.
“Katakan, kesalahan apa yang telah aku... atau kita perbuat hingga kamu begitu keras untuk menghukum dirimu sendiri. Kamu tahu bahwa kebakaran itu adalah kecelakaan. Tidak ada yang berniat menyelakai dia...”
Kamu membuka mulutmu, berniat mengucapkan sesuatu. Kulihat bibirmu juga bergetar. Mungkin sesulit itu mengucapkan sesuatu setelah kamu mengunci mulutmu untuk sebulan ini.
“Kamu... mau tahu... apa kesalahan aku dan kamu..?”
“Katakan..”
Kamu kembali dengan tangis penderitaanmu. Kamu menjerit dan aku kini sedang memelukmu.
“Kamu tahu apa kesalahan kita? Harusnya kita tidak pernah bertemu! Harusnya kita tidak pernah menikah! Harusnya aku tidak perlu hamil! Harusnya aku tidak melahirkannya ke dunia ini! Kita bersalah.. tidakkah kamu mengerti?!!!”
Kamu berteriak-teriak lagi seperti saat peristiwa itu. Hatiku sakit. Untuk pertama kalinya dalam hubungan kita, kamu membuatku sakit secara langsung. Ya, memang harusnya kita tidak pernah bertemu. Jika kita tidak pernah bertemu, kita tidak akan menikah dan dia tidak akan pernah hadir hanya untuk kemudian pergi.
“Maaf.. maaf.. Apa yang harus kulakukan?”
“Jangan pernah pergi. Tetaplah tinggal. Aku butuh kamu.”
Aku menghela napas lega.
Komentar
Posting Komentar