Tulisan kali ini untuk orang yang kemarin berkata belum mampu menemukan kebahagiannya:') Aku memandang jalanan ramai di luar sana. Perjalanan pulang ini selalu mengingatkanku tentang hal yang sama dengan luka lama yang setia. Aku selalu menarik napas dalam dan membuangnya secara perlahan setiap kali sikap cengeng itu akan menyapa. Sesak di dada sudah lama menjadi penyakit yang entah mengapa tak pernah sembuh sampai sekarang. Bahkan saat aku menutup mata, bayangan itu tak pernah bisa terusir sepenuhnya. Aku sudah merelakannya. Hanya saja, rasanya selalu ada yang tertinggal di sana. Sesuatu yang tak akan mampu lagi aku jemput. Sesuatu yang sudah jauh tertinggal disaat diriku sudah terlalu jauh melangkah. “Bogor... Bogor...” Suara kenek bus membuatku terbebas dari perenungan menyakitkan yang memang sudah lama ingin aku akhiri. Bogor. Aku menghela napas panjang sebelum bangkit dan menuruni tangga bus ke luar. Udara Bogor yang sedikit sejuk meski tak seding
Dia memutuskan persahabatan kami begitu saja. Setelah semua yang kami lalui berdua selama tujuh tahun, dia memutuskanku. Dia pergi dari hidupku tanpa pertanda apa-apa. Dia pergi di saat aku sebentar lagi akan meraih impianku. Dia pergi di saat-saat terpenting dalam hidupku. Aku jadi bertanya-tanya, apakah selama tujuh tahun kami bersama, dia hanya memanfaatkanku saja untuk keuntungannya sendiri? Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang dia manfaatkan dariku? Aku miskin, aku tidak punya apa-apa, aku selalu bergantung kepadanya. Dia adalah seorang putri yang hidup di istana dengan segala sesuatu yang tak perlu ia minta, tapi selalu tersedia. Aku sering membaca penelitian, bahwa sahabat yang sesungguhnya adalah sahabat yang bisa bertahan denganmu lebih dari empat tahun. Kami sudah tujuh tahun. Pertama kali bertemu saat sama-sama menjadi mahasiswa baru, walaupun dengan jurusan yang berbeda. Dia adalah satu-satunya orang yang pernah melihatku menangis. Dia adalah satu-satunya oran