“Hai, nama saya Senja…”
Aku menelan ludah
berat. Mengapa setelah sekian lama aku mencoba berlari, dia datang lagi meski
dalam sosok yang berbeda. Ini mengingatku akan hari-hari terakhirnya, disaat
dia berbisik padaku mengatakan bahwa dia akan datang kembali. Dia berjanji. Pasti.
Aku saat itu hanya tersenyum, tahu bagaimana semuanya akan berakhir. Dia menangis
dipelukanku saat aku mengatakan bahwa tak lama lagi Waktu akan memisahkan kami.
Kami sama-sama tahu, bahkan sebelum kami berdua bertemu. Aku, selalu berprinsip
bahwa bersama untuk berpisah dan menerima hanya untuk melepaskan. Dia hanya
tidak menyangka bahwa akan secepat ini. Aku sudah memperingatkannya dari awal. Kami
tak akan pernah bertahan lama. Aku bukan manusia immortal yang akan hidup abadi
bersamanya, begitupun dengan dia. Kami memahami
cinta dalam perspektif yang berbeda dari biasanya. Kami percaya cinta hanya
akan membuat kami mecandu dan bergantung. Konsep cinta hanyalah sesuatu yang
diciptakan manusia untuk mewakili obsesinya tehadap sesuatu. Sedangkan kami,
aku tak bisa mendeskripsikannya.
“Hai, nama saya Senja…”
Otakku masih memutar
kejadian dua tahun lalu itu. Aku tak melihat orang lain. Hanya dia. Ya,dia
Senja. Dia benar-benar Senja yang selalu terlahir kembali. Dia menepati
janjinya. Namun, akankah semuanya kembali sama? Dia Senja dan aku tahu bahwa
dia hanya sementara. Disisi lain, aku tak mampu menolak kelahirannya kembali
karena begitulah sifat alamiahnya. Dia mengenaliku, namun secara samar dan tak
tersentuh. Dia pasti mengingat kejadian sore itu, saat aku pertama kali
berjumpa dengannya. Senja. Entah mengapa nama itu selalu mengalirkan kekusutan
yang tak akan mampu kuuraikan dengan kemampuan otak manusia yang terbatas. Lalu,
benarkah kelahiran kembali itu ada? Mengapa dia memilih terlahir kembali
sebagai Senja? Mengapa tidak sebagai petugas kereta ataupun artis Korea? Aku mengutuki
diriku sendiri. Sampai saat ini, aku masih mencoba kembali pada kenyataan. Dia mungkin
hanya ilusi. Ya, aku mungkin sedang dalam keadaan kurang tidur berat dan
menyebabkan otakku berhalusinasi ganjil. Beberapa kali aku mengerjapkan mata,
namun dia memang nyata. Berdiri dihadapanku, tersenyum dan masih mengulurkan
tangannya menunggu sambutanku. Senja. Senja. Senja. Jika dia selalu terlahir
kembali sebagai Senja, mungkinkah aku Petang yang selalu ada menunggu
kedatangannya? Bukankah itu menyedihkan?
“Hai, perkenalkan, nama saya Senja…”
Aku mengulurkan
tanganku. Dia tidak tembus pandang. Aku dapat menggenggam tangannya yang kokoh.
Ya, dia Senja.
“Dan Senja hanya terlahir untuk sementara.”
Komentar
Posting Komentar