Dia memutuskan persahabatan kami begitu saja. Setelah semua
yang kami lalui berdua selama tujuh tahun, dia memutuskanku. Dia pergi dari
hidupku tanpa pertanda apa-apa. Dia pergi di saat aku sebentar lagi akan meraih impianku. Dia pergi di saat-saat terpenting dalam hidupku. Aku
jadi bertanya-tanya, apakah selama tujuh tahun kami bersama, dia hanya
memanfaatkanku saja untuk keuntungannya sendiri? Lalu, pertanyaan selanjutnya
adalah, apa yang dia manfaatkan dariku? Aku miskin, aku tidak punya apa-apa,
aku selalu bergantung kepadanya. Dia adalah seorang putri yang hidup di istana
dengan segala sesuatu yang tak perlu ia minta, tapi selalu tersedia.
Aku sering membaca penelitian, bahwa sahabat yang
sesungguhnya adalah sahabat yang bisa bertahan denganmu lebih dari empat tahun.
Kami sudah tujuh tahun. Pertama kali bertemu saat sama-sama menjadi mahasiswa
baru, walaupun dengan jurusan yang berbeda. Dia adalah satu-satunya orang yang
pernah melihatku menangis. Dia adalah satu-satunya orang tempatku menceritakan
segala sesuatu bahkan sampai ke rahasia terkelamku. Dia segalanya dan kini dia
pergi. Aku patah hati. Aku merasa diceraikan. Aku kesepian. Aku tidak pernah
menginginkan seseorang hadir ke dalam hidupku sampai sebegitu menderitanya. Aku
kesakitan dan dia sudah tidak peduli.
Dua tahun lalu aku berhasil meraih impianku. Impian yang
dulu selalu aku bagi dengan dirinya. Impian yang selalu aku ceritakan saat
malam-malam bersamanya di atas atap. Hanya dia yang meyakinkanku bahwa mimpi
itu bisa kuraih. Di saat semua orang berkata bahwa mimpiku terlalu besar untuk
seorang manusia sepertiku. Ia berbeda. Setiap aku selalu gundah akan mimpiku
sendiri, dia selalu menyentuh pipiku, menatap mataku, dan mulai bertanya,
“Apakah kamu takut terhadap mimpimu?”
Aku tanpa ragu menjawab,
“Ya, aku sangat takut.”
Saat itu dia tersenyum begitu manis seperti seluruh kupu-kupu
di dunia ini beterbangan di perutku, begitu hangat, begitu menggelikan, tapi
nyatanya aku suka. Kemudian, dia kembali berkata,
“Mimpi yang besar harus membuatmu takut, sehingga kamu
cepat-cepat bangun dan berlari mengejarnya. Aku akan selalu ada untuk kamu di
saat itu.”
Setelah itu aku akan memeluknya erat dan dia tertawa
lepas. Apa mungkin dia menertawakan mimpiku?
Sudah lima tahun berlalu sejak kepergiannya. Aku merana,
aku menderita, aku nelangsa. Pikiran tentang menyeret tubuhku untuk berlutut
kepadanya begitu besar. Aku ingin meminta maaf atas suatu kesalahan yang akupun
tidak tahu apa. Rasanya bodoh ketika dirimu ingin meminta maaf untuk kesalahan yang
tidak kau sadari hadir. Tapi, aku ingin meminta maaf. Aku ingin meminta maaf
hingga aku kesakitan setiap malam. Aku dihantui rasa bersalah akan sesuatu hal
yang di luar kendaliku. Aku ingin meneleponnya, mendengar suaranya, membelai
kulitnya, dan menariknya ke dalam pelukanku. Sama seperti dulu. Saat itu,
alam semesta seolah membenturkanku pada kenyataan yang begitu menggelikan. Aku
mencintai sahabatku sendiri. Aku mencintanya dan aku tidak tahu sejak kapan.
Sepanjang 30 tahun kehidupanku, aku tidak pernah menginginkan seorang
perempuan pun hadir di hidupku untuk aku cintai dan lindungi. Hanya dia,
sahabatku. Dia membuatku merasa cukup. Dia membuatku merasa dihargai sebagai
manusia. Sahabatku yang pergi lima tahun lalu. Sahabatku, yang kudengar
terakhir kabarnya, sudah pergi ke seberang benua untuk melanjutkan studinya. Dan
aku hanya bisa termenung di kamar seharian, tidak berusaha untuk mengejarnya, seperti
Cinta yang mengejar Rangga sampai ke bandara.
Hari ini, seperti biasanya, aku bangun pagi dan mulai
mandi. Jabatanku yang sekarang tinggi di perusahaan yang dulu bahkan menolakku,
begitu menyita pikiran dan waktuku siang hingga malam, malam hingga pagi. Akan
tetapi, sebagian waktu itu terkadang aku habiskan untuk memikirkan dirinya. Aku
ingin kembali padanya. Aku ingin meminta maaf atas sesuatu yang mungkin tidak
aku sadari pernah aku lakukan. Selesai mandi, berpakaian, dan sarapan, salah
satu pelayanku memberikan sebuah surat yang ia bilang dikirim empat tahun lalu,
tapi baru sampai hari ini. Aku termenung melihat amplop itu. Tanganku bergetar.
Aku mengenali tulisan sambung itu dimanapun aku berada. Tulisan itu hanya milik
satu orang. Tulisan itu hanya milik dirinya. Aku menggeser piring sarapanku dan
mulai membaca lembaran surat itu.
Hai
Demas,
Apa
kabar kamu? Setahun lalu aku memutuskan untuk meninggalkan kamu dan sekarang
sudah rindu. Aku memang selalu jadi pengecut, kan? Dan kamu selalu menjadi
juara. Hehehe. Aku kangen kamu. Aku rasa aku perlu bilang karena kamu bukan
orang yang terlalu peka dengan perasaanku. Aku kangen kamu. Tapi, aku malu
untuk bilang langsung. Aku nggak mau lagi jadi orang pertama yang minta maaf
dan nyamperin kamu di saat kita lagi ada masalah. Aku pengen kamu melakukan itu
untuk aku sekarang. Aku ingin kamu yang minta maaf dan mohon-mohon sama aku. Anak
kecil banget, ya? Iya, emang, selalu. Terus kenapa selama ini kamu mau
sahabatan sama aku? Hahaha.
Aku
benci sama kamu. Iya, benci banget. Selama enam bulan sebelum kita berpisah, kamu selalu lupa
balas pesanku dan menolak teleponku. Kamu bilang kamu lagi sibuk banget. Iya,
aku paham, kok. Sebentar lagi mungkin kamu akan jadi CEO perusahaan, ya, atas
kerja keras dan sederet prestasi yang udah kamu raih. Aku ikut seneng. Aku
menangis bahagia waktu kamu bilang kamu menang tender yang sulit
banget untuk didapatkan perusahaan kamu. Aku membuktikan omonganku, kan? Kamu
memang akan menjadi sesuatu di masa depan, Demas. Lewat kamu, aku mengenal
sosok laki-laki lain dalam hidupku, selain Ayahku yang brengsek yang sering
memukuliku. Aku akhirnya menemukan sosok laki-laki yang selalu aku impi-impikan
dalam hidupku. Aneh, ya? Memang aneh. Hahahaha. Aku bersyukur kamu hadir di
hidupku sebagai seorang sahabat.
Demas,
kamu mungkin bertanya-tanya apa tujuanku menulis surat ini. Seseorang pernah
berkata bahwa ketika lisan tidak bisa berbicara, tulisan mungkin akan menjadi
jawaban. Aku tidak mau lagi menangis di hadapan kamu. Biar aku menangis di
hadapan kertas ini aja. Aku ingin memberitahukan kamu mengenai satu cerita
Demas. Ini cerita tentang kita. Tentang aku dan kamu. Tentang kesalahpahaman
yang nggak pernah sempat untuk teruraikan karena keegoisanku sendiri.
Keegoisanku yang membawaku pada keputusan untuk meninggalkan kamu. Aku lelah
menjadi perempuan yang selalu menunggu. Harga diriku ternodai oleh sikapmu yang
tidak pernah lagi menganggapku ada. Seenggaknya dengan pergi meninggalkanmu,
aku masih punya sedikit harga diri dan menunjukkan kepadamu bahwa ternyata aku
nggak pernah menggantungkan diriku sama kamu sampai sebegitunya, iya, kan? Meskipun
pada kenyataannya, kamu adalah manusia satu-satunya tempatku bergantung dan
pulang. Semenjak aku memutuskan untuk pergi, aku kehilangan rumahku. Aku
gelandangan tanpa kamu. Kok terdengar berlebihan, ya? Hahaha. Untung kamu tau
ini dari surat, bukan dari mulutku sendiri. Nggak malu-malu banget deh, aku.
Ayahku
meninggal dunia. Kamu belum tau, kan? Ya, dia meninggal dunia, sebulan sebelum
kita berpisah di stasiun kereta itu. Aku mencoba menghubungi kamu,
berkali-kali, berpuluh-puluh kali, bahkan mungkin beratus-ratus kali. Lalu,
kamu ingat apa jawaban kamu? Kamu ingat apa yang kamu ucapkan di telepon? Saat aku
menangis, saat aku memintamu untuk datang ke rumaku, saat aku berkata aku ingin
bercerita kepadamu, kamu menjawab dengan begitu entengnya “Ada apa, sih? Cerita di telepon aja. Aku sibuk, lima
menit lagi ada meeting sama atasan.” Aku
memohon kepadamu terus-menerus hingga aku mendengar desahan kekesalan kamu dan
kamu membentakku. Aku terbentur oleh kenyataan yang begitu dahsyat bahwa ternyata
tak hanya alam semesta yang mengabaikan penderitaanku, tetapi juga kamu,
sahabatku sendiri. Kamu tidak lagi ada, Demas. Dan aku begitu bodoh untuk
menyadarinya. Aku tidak berarti apa-apa lagi buat kamu. Persahabatan kita hanya
omong kosong belaka. Pada dasarnya manusia memang hanya akan menanggung
penderitaannya sendiri. Sahabat hanyalah imaji yang diciptakan manusia untuk
memenuhi hasratnya untuk ditemani, dikasihi, dan dilindungi. Aku tidak mau lagi
hidup dalam khayalan. Aku ingin terbenturkan secara keras ke dalam kenyataan,
bahwa aku memang sendirian di dunia ini. Tidak ada kamu, tidak ada siapapun.
Hanya diriku sendiri.
Ibuku
menjadi gila. Seminggu lalu ia resmi masuk rumah sakit jiwa. Hanya aku yang tau
rahasia besarnya. Hanya aku yang menanggung rasa bersalahnya. KAMU TIDAK TAHU!
KAMU TIDAK PERNAH TAHU! Dia membunuh suaminya sendiri. Dia mendorong Ayahku hingga
kepalanya terbentur keras dan meninggal dunia. Cerita itu yang ingin aku bagi
kepadamu, tidak kepada orang lain, tidak kepada pihak kepolisian yang meminta
keteranganku. Aku berbohong kepada semuanya. Aku berbohong kepada keluargaku,
kerabat yang datang, dan kepolisian tentang kematian Ayahku. Tidak pernah ada
kecelakaan di kamar mandi hari itu. Tidak pernah ada kelalaian Ayahku sendiri
yang membuatnya terpeleset di kamar mandi hingga ia jatuh dan meninggal dunia.
Yang ada hari itu hanyalah kenyataan bahwa orngtuaku bertengkar begitu
hebat di depan kamar mandi. Seperti biasanya, Ayahku memukul Ibuku. Hari itu,
entah setan apa yang merasuki Ibuku, ia mendorong Ayahku hingga kepalanya
membentur wastafel. Aku tahu ia tak sengaja. Aku tahu ia tidak sengaja. Tapi,
aku tahu bahwa Ibuku akan masuk penjara jika ia mengakui kesalahannya. Aku
kemudian berteriak kepadanya untuk berhenti menjerit, bahwa ia harus menganggap
semua itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah seorang lelaki terpeleset
di kamar mandi kemudian meninggal dunia. Ibuku tidak pernah mendorong Ayahku. Itulah
kenyataan yang harus dihadirkan begitu nyata oleh aku dan Ibuku. Ibu paham. Lagipula,
lelaki itu memang pantas mati. Lelaki itu pantas mati. Pantas mati. Mati.
Setelah
Ayahku meninggal, kamu bahkan tidak menanyakan kabarku. Kamu bahkan tidak
bertanya kenapa waktu itu aku menangis, kenapa aku seperti orang gila yang
meneleponmu hingga berpuluh-puluh kali. Kamu tidak pernah bertanya dan dengan
bodohnya aku masih menunggu. Aku masih menunggu kalimat itu terucap dan aku
sudah bersiap dengan segala air mata dan kisah yang kusembunyikan. Tapi, saat
itu tidak pernah datang. Kamu dengan tidak tahu dirinya malah mengajakku untuk
berlibur ke danau. Bahkan, sepanjang perjalanan di kereta, kamu sibuk sendiri
dengan laptop dan earphone yang menyumbat telingamu. Aku membisu di
sampingmu. Aku menangis dan kamu tidak menghiraukanku. Saat itulah aku
menyerah. Kamu bukan Demas yang dulu aku kenal. Kamu bukan sosok yang aku
temukan tujuh tahun lalu saat acara orientasi mahasiswa baru. Demas yang dulu
adalah Demas yang sederhana, peduli kepada orang lain, dan tidak pernah sibuk
dengan dunianya sendiri. Demas yang dulu selalu ada untukku. Demas yang dulu
selalu berbagi mimpinya denganku. Aku tidak mengenal Demas yang sekarang. Demas
yang sekarang terlalu tampan, rapih, dan angkuh. Mungkinkah kesuksesan
mengubahmu begitu cepat sampai sebegitunya? Kamu selalu tahu, aku menyayangimu
dalam kekurangan, aku menerimamu dalam sakit dan duka.
Akhirnya
aku memutuskan untuk pergi di stasiun kereta itu. Kamu ingat apa yang aku
katakan? “Aku mau berhenti. Aku mau kita pisah.” Kita kayak orang pacaran yang
tiba-tiba putus, ya? Atau memang kamu juga sadar bahwa selama tujuh tahun
persahabatan kita, kamu nggak pernah punya pacar. Aku cuma sekali dan itu
berakhir dengan tragis (Inget nggak waktu itu kamu bilang kalau aku sampai
hamil, kamu rela jadi suami dan Ayah dari anak aku? LOL :D). Saat itu wajah
kamu begitu terkejut dan marah. Kamu bilang aku nggak waras. Kamu bilang bahwa
kita nggak akan pernah berpisah sampai kapanpun. Kamu membentakku lagi dan aku
menangis lagi. Bahkan saat itupun kamu tidak bertanya “Mengapa?” kepadaku. Kamu
malah sibuk dengan kemarahanmu sendiri. Ingat apa yang aku katakan selanjutnya,
“Kamu bahkan nggak mau tanya aku kenapa. Kamu gak tanya kenapa sebulan ini aku
berubah pendiam dan sering menangis.” Lalu, kamu ingat apa jawaban kamu? Kamu
bilang bahwa aku harus berhenti jadi perempuan lemah yang selalu ingin dimanja.
Kamu bilang bahwa kamu capek dengan sikapku yang kekanak-kanakan. Saat itu aku
hanya mendengarkan kamu. Kamu kemudian meneriakiku saat aku berjalan menjauh dan
menaiki kembali kereta untuk pulang. Ingat apa yang kamu teriakkan kepadaku?
“KAMU
BAKAL NYESEL! AKU NGGAK AKAN PERNAH MAU KEMBALI SAMA KAMU KALAU KAMU UDAH
MEMUTUSKAN UNTUK PERGI!”
Ya,
aku menerima Demas. Aku menerima jika kamu ingin membuang diriku untuk
selama-lamanya dari hidup kamu. Tapi, hal berikutnya yang tidak aku sadari
adalah rasa kehilangan itu. Rasa kehilangan yang setiap hari menyiksaku. Aku ingin
kembali kepadamu. Tapi, aku tidak tahan dengan pikiran bahwa kamu akan menolak
dan mengusirku. Aku bertahan setahun ini hanya dengan pikiran bahwa waktu akan
menyembuhkan lukaku. Waktu akan menghilangkan kamu dalam pikiranku. Aku tidak
tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan. Yang terpenting sekarang adalah aku harus
bertahan hidup dengan diriku sendiri. Aku harus bertahan tanpa seorang Demas
yang selama tujuh tahun ini menjadi sahabat, kakak, dan ayah bagiku.
Terkadang
rasa bersalah itu ada. Mengapa aku tidak bisa mengerti posisimu saat itu? Mengapa
aku harus begitu sakit hati kepadamu saat itu? Harusnya aku mengerti, kalau
prioritasmu saat itu adalah karir untuk masa depanmu, bukan diriku. Harusnya
sebagai seorang sahabat aku bisa mengerti. Bahwa Demas sedang sibuk meraih
mimpinya. Bahwa aku harus perempuan yang lebih kuat, sehingga tidak terlalu
bergantung kepadanya. Tapi, saat itu Ayahku mati di hadapanku Demas. Dia mati
dan aku ketakutan setengah mati. Aku ingin menjerit di pelukanmu. Aku ingin
kamu medekapku. Aku ingin kamu berkata padaku bahwa semuanya baik-baik saja. Bahwa
aku tidak sendiri di dunia ini. Bahwa kamu akan selalu ada untukku. Tapi, kamu
tidak ada. Kamu tidak pernah ada.
Maaf
ya Demas, karena kamu harus membaca semua cerita ini. Aku tidak berniat meminta
perhatianmu lagi. Aku hanya ingin membayar utangku sebagai sahabatmu dulu. Aku
ingin kamu tahu bahwa tindakan meninggalkanmu saat itu dilatarbelakangi oleh
hal yang telah aku ceritakan di atas. Setidaknya, sekarang aku sudah sedikit
lega karena bisa menuliskan surat ini untukmu. Aku mengerti jika kamu tidak menginginkanku
untuk kembali. Masing-masing dari kita sudah berjalan terlalu jauh meninggalkan
satu sama lain, hingga akupun lupa dimana rumah itu pernah berada. Aku
menyayangimu selalu, sampai kapanpun. Kamu tetap sahabatku. Dimanapun dan
kapanpun, doaku selalu menyertaimu.
Terakhir,
terima kasih atas tujuh tahun kebersamaan kita. Kita telah membuktikan kepada
orang-orang bahwa persahabatan antara seorang cewek dan cowok itu bukan sesuatu
hal yang tidak mungkin terjadi, kok. Terima kasih telah menjadi Demas
kesayanganku selama tujuh tahun. Terima kasih telah menjadikanku seorang
perempuan yang berarti. Kamu membuatku berarti. Kamu tahu itu, kan?:)
Salah
kecup basah dari sahabatmu,
Rena.
Aku tidak menyadari apa yang aku lakulakan setelahnya,
hingga aku bisa sampai di dalam kamarku. Aku membenamkan diriku ke dalam
selimut dan bantal-bantal. Tanganku masih mengenggam kertas dan amplop itu. Aku
menangis, aku menjerit, dan aku memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan Rena
kepadaku. Aku menginginkannya. Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal dan aku
ingin mati. Aku ingin mati. Aku merasa bersalah sampai ingin mati. Aku terus
berteriak kepada Tuhan untuk mengembalikan Rena kepadaku. Aku memohon kepada
Tuhan untuk memaafkan sikapku yang telah menyia-nyiakan Rena. Aku berteriak
hingga aku kesakitan. Hal berikutnya yang aku sadari adalah bahwa Rena bisa
menjadi impianku sekarang. Impian yang membuatku takut. Aku tertawa sendiri.
Ya, impian yang menakutkan akan membuatku bangun dan berlari mengejarnya, entah
untuk diraih, ataupun dimusnahkan. Rena, bersiaplah untuk itu.
Komentar
Posting Komentar