Langsung ke konten utama

SENJA YANG HILANG AKIBAT REKLAMASI


Seseorang pernah berkata, dalam dunia kapitalis orang miskin akan bertambah miskin sedangkan orang kaya akan bertambah kaya. Aku ingat. Guru Ekonomiku pernah berkata demikian. Pernyataannya itu membuatku berpikir, siapa yang bertambah miskin dan siapa yang bertambah kaya? Mengapa kata 'bertambah' harus mewakili dua sisi yang begitu bertolak belakang. Miskin dan kaya.
Miskin. Aku sering mendengar kata itu. Di jalanan, orang-orang berteriak hampa ke lautan kerajaan yang bahkan tak peduli. Di televisi, para pembawa berita yang cantik dan tampan, mungkin juga kaya, selalu memberitakan bahwa statistik kemiskinan di negara ini semakin meningkat. Kemiskinan merajalela sehingga pemerintah melakukan berbagai macam cara untuk menanggulanginya. Sebagai orang yang merasa miskin, apakah kalian tidak menganggap diri kalian sebagai tersangka? Pemerintah katanya pusing menanggulangi kalian.
Kaya. Sepertinya aku juga sering mendengar kosakata itu. Ya, sangat sering, apalagi ketika Ayah dan Ibu bertengkar.
   "Kapan sih kita kaya? Bosen hidup miskin terus."
Begitulah kira-kira musik monotonik yang selalu Ibu mainkan ketika Ayah hanya membawa sedikit hasil ikan dari kegiatan nelayannya. Padahal aku tahu, Ayah sangat lelah, badannya pun bau seperti air bah. Matanya sayu, badannya sudah sangat ringkih dan kaku seperti lapuknya kayu. Kurasa Ibu harusnya mengubah musik yang ia mainkan saat Ayah pulang dengan hasil tangkapan ikan yang tidak seberapa. Mungkin Ibu bisa memainkan musik polifoni. Aku dengar bahwa musik polifoni begitu indah karena menggabungkan berbagai macam jenis nada hingga menjadi alunan yang begitu menakjubkan. Aku yakin Ayah akan sangat terhibur mendengarnya. Apalagi jika ditambah dengan Ibu menggoyangkan pinggulnya seperti yang selalu ia lakukan ketika menguleg sambal.
Kemarin, Ayah dan Ibuku kembali bertengkar di gubuk tua nan reyot kami yang terletak di pesisir pantai yang katanya utara Ibukota negeri ini. Tidak seperti biasanya, Ayah juga memainkan musik keras. Biasanya, Ayah hanya diam jika Ibu sudah memainkan musik monotonnya. Mereka saling berteriak, sedangkan aku hanya bisa melarikan diri ke tempat persembunyianku yang paling tidak tersembunyi. Namun, tetap saja aku mendengar alunan musik rusak keduanya. Di tempat persembunyianku yang paling tidak tersembunyi ini, aku menatap langit yang perlahan turun menuju dasar lautan untuk kemudian pulang dan beristirahat. Sebagai gantinya, alam menghadirkan senja ke langit sana. Aku menamakan tempat persembunyianku menjadi Tepi Langit. Setiap aku bersembunyi di sini, aku merasa hanya ada aku, lautan, dan senja. Akan tetapi, mengapa senja sekarang berubah warna?
   "Ini tuh gara-gara reklamasi. Kita harus muter kalau mau nangkep ikan. Biaya
   bahan bakarnya jd boros!" teriak Ayah.
Ibu membalasnya dengan musik monoton yang bahkan sudah aku hafal di luar kepala, melebihi hafalanku terhadap rumus relativitas fisika ataupun hukum Newton. Aku tidak peduli dengan semua pelajaran itu. Tanpa teori relativitas dan hukum Newtonpun aku masih bisa menikmati senja di tempat persembunyianku yang paling tidak tersembunyi ini. Namun, sesuatu mengusik kesadaranku. Sudah terlalu banyak kosakata berakhiran -si yang aku dengar sepanjang 13 tahun kehidupanku. Imunisasi, asosiasi, akulturasi, komunikasi, bahkan nasi. Semuanya memiliki arti positif. Lalu, mengapa kosakata berakhiran -si yang tadi Ayah sebutkan sepertinya bermakna negatif? Untuk saat ini, aku hanya ingin bersembunyi di Tepi Langit, sebuah tempat persembunyian yang paling tidak tersembunyi. Hanya ada aku, lautan, dan senja.
Senja sudah berubah warna. Entah sejak kapan, namun akhir-akhir ini aku mulai menyadarinya. Ronanya memucat seperti perempuan kehilangan cintanya. Seperti lelaki kehilangan pekerjaannya. Aku terkadang menjadi sedih melihatnya. Aku takut akan kehilangan senja. Senja yang kusadari juga telah berubah bentuknya. Dulu, senja di sana bagai sang raja yang menguasai takhta. Namun, kini, senja bukan lagi seorang raja. Ia harus rela berbagi tempat di langit sana dengan pulau-pulau baru yang muncul dan hampir menyentuh langit. Aku bahkan tidak tahu, mengapa pulau-pulau bisa muncul di air laut. Sungguh, mereka melukai tubuh senja kesayanganku.
Senja. Entah sejak kapan aku mulai menyukainya. Mungkin sejak kepergian Kakak perempuanku 5 tahun lalu. Dia sangat suka berceloteh tentang senja. Dia bahkan banyak menulis tentang senja dan bermimpi untuk menerbitkannya suatu hari nanti. Dia juga pernah berkata bahwa jika dia mati, dia tidak benar-benar mati, dia hanya bereinkarnasi menjadi senja. Senja. Senja. Senja. Mungkin sejak saat itu aku menyukai senja. Aku selalu merasa Kakakku benar-benar bereinkarnasi menjadi senja karena aku bisa merasakan kehadirannya saat melihat senja. Kehangatan cahaya senja membawa air bah kenangan indah yang selalu membuatku betah berlama-lama untuk tenggelam.
Di Tepi Langit, aku bisa memikirkan dan mengkhayalkan apapun. Hari ini, di tengah musik rusak yang masih berkumandang, aku teringat percakapanku dengan Kakakku beberapa tahun lalu, sebelum ia meninggal.
   "Kenapa sih Kakak suka senja?"
   "Hmmm. Karena senja itu pasti."
   "Apanya yang pasti? Senja kan, cuma sementara. Dia selalu pergi kalau dia sudah
    bosan."
   "Itu dia jawabannya. Senja memang sementara, tapi sesungguhnya dia abadi. Dia
    selalu datang kembali, setiap hari. Dia selalu menepati janjinya untuk kembali."
   "Untuk apa bereinkarnasi menjadi senja? Kenapa gak jadi petugas kereta atau artis
    Korea?"
Saat itu obrolan kami terhenti karena harus membantu Ayah menjual hasil tangkapan ikannya ke pasar.
Sudah lewat beberapa hari semenjak pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Suasana rumah berubah menjadi sunyi senyap sejak diturunkannya informasi bahwa rumah gubuk kami yang sederhana ini harus digusur. Kami tidak bisa membantah karena itu adalah perintah langsung dari gubernur kami yang dulu sangat aku kagumi karena kegalakan dan ketegasannya. Namun, sejak turunnya perintah penggusuran, hatiku dipenuhi kebencian mendalam, melebihi kebencianku akan sosok orang-orang kayak yang katanya menguasai pasar. Bahkan aku tidak terlalu paham akan apa yang aku katakan tadi. Namun, aku benar-benar murka karena penggusuran itu berarti juga akan memisahkan aku dengan Tepi Langit. Aku begitu tersayat membayangkannya. Aku juga marah! Mengapa Kakak harus bereinkarnasi menjadi senja. Senja sebentar lagi juga akan ikut tergusur! Harusnya Kakak memilih bereinkarnasi menjadi petugas kereta atau artis Korea saja!
Reklamasi. Satu-satunya kosakata berakhiran -si yang sangat aku benci sepenuh hati. Pengetahuanku bertambah seribu persen hanya karena menonton televisi yang dulu selalu aku caci maki. Dari benda kecil berukuran 14 inchi itu, aku tahu bahwa reklamasi ialah sebuah upaya pengurugan untuk memperluas lahan. Dalam bahasa yang kupahami, reklamasi adalah upaya pemerintah dan aristokrat terlampau kaya untuk memunculkan pulau-pulau baru demi terciptanya perluasan lahan di lahan yang katanya sudah sempit ini. Dasar bodoh! Jika lahan sudah semakin sempit, pembangunan horizontal bukanlah langkah yang tepat. Mungkin pembangunan bertikal yang harus dilaksanakan. Tunggu dulu, jangan menganggap pembangunan horizontal dan vertikal itu adalah hasil pemikiranku. Aku hanya mendengarnya dari salah satu narasumber di televisi.
Semua acara berita di stasiun televisi membahas reklamasi yang menjadi populer sejagat negeri. Lucunya, di tubuh yang mengeluarkan buang air jenis reklamasi ini, terjadi pergolakan yang tak kalah hebatnya. Presenter cantik di channel televisi yang sering dijuluki TV Oon memberitakan bahwa pemerintah daerah bersikeras tetap melaksanakan reklamasi, sedangkan kementerian lingkungan hidup menolak usulan tersebut. Alasan penolakan tersebut banyak menggunakan bahasa ilmiah yang tidak aku pahami. Tetapi, perasaanku sebagai anak nelayan mengatakan bahwa aku harus mendukung perlawanan dari kementerian yang sepertinya sangat mengerti permasalahan lingkungan itu.
Tadi pagi, kulihat beberapa orang berpakaian rapi menyusuri pesisir pantai ini. Banyak orang bilang bahwa mereka adalah 'pengembang'. Lalu, seketika akupun bingung, katanya reklamasi merupakan kebijakan pemerintah, mengapa yang datang malah 'pengembang'? Untunglah Ayah menjelaskan padaku bahwa 'pengembang' itu sebagai perealisasi kebijakan pemerintah. 'Pengembang' yang datang itu katanya perusahaannya sering muncul di televisi, menyiarkan promosi apartemen-apartemen tinggi dengan harga selangit. Aku jadi semakin bertanya-tanya, jadi perluasan lahan dengan cara reklamasi ini bertujuan untuk apa? Untuk bikin apartemen? Untuk bikin tempat rekreasi air? Atau mungkin untuk bikin jenis perumahan mewah seperti yang ada di pantai yang katanya indah dengan kapuknya itu. Aku bingung mungkin karena aku bodoh. Mereka bingung mungkin juga karena mereka bodoh. Tetapi, yang paling berbahaya adalah mereka yang bingung karena sengaja dibuat bingung.
Setelah mengerti karena terlalu sering menonton televisi, sekarang aku lebih sering membunuh waktuku di tempat persembunyian yang paling tidak tersembunyi itu. Aku takut hanya tinggal menghitung hari sebelum aku diseret paksa dari Tepi Langit. Aku juga takut senja di sana akan benar-benar hilang ketika diriku hilang. Kehilangan ganda, senja dan Kakaku. Atau mungkin aku harus menambah daftar kehilangan itu menjadi senja, Kakak, dan diriku sendiri. Ah, alangkah indahnya membayangkan diriku tenggelam dalam senja yang begitu munafik cahayanya kini.
Aku sampai di Tepi Langit, sebuah tempat persembunyian yang paling tidak tersembunyi. Aku menatap jauh ke lautan dan langit. Hanya ada pulau-pulau baru itu yang kini merajai langit. Senjaku hilang bahkan sebelum aku pergi. Langit berwarna kelabu. Apakah senja bisa berubah menjadi kelabu? Aku tidak pernah tahu. Aku hanya tahu bahwa senjaku telah pergi atau mungkin berubah warna.
Aku menyusuri langit sampai ke bibir pantai, berharap semakin dekat dengan Tepi Langitku. Akan tetapi, semakin aku mendekat, semakin ia menjauh. Langit berpendar, membuatku pusing bukan main, angin lautpun seketika membuatku mual. Seperti ada gesekan antara dua dunia dan aku mencoba memasuki dunia lain itu. Aku merasakan air di bawah kakiku. Aku terus berjalan, menghampiri senja yang kian tak terlihat. Jadi beginilah rasanya kehilangan seseorang yang aku cintai. Padahal, selama 13 tahun kehidupanku, aku tak pernah merasakan cinta kecuali terhadap Ayah, Ibu, Kakak, dan adikku. Tubuhku sudah mulai tenggelam saat aku mendengar teriakan Ibuku dari kejauhan. Aku tidak ingin kembali. Aku ingin menuju senja.

Kurasa aku mulai gila. Ya, aku gila.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baru

Akhirnya baru bisa punya blog lagi:) Setelah lebih dari setahun ga bukan blog (dan lupa password), sekarang punya akun baru. Berharap blog ini berguna gacuma bagi temen-temen tapi juga orang banyak. Salam.

UNTITLED

Sudah satu bulan. Empat minggu. Tiga puluh hari. Tiga puluh kali pergantian siang dan malam. Tujuh ratus dua puluh jam. Empat puluh tiga ribu dua ratus menit. Detik mungkin tak perlu kuhitung. Selama itu waktu yang kamu habiskan hanya untuk menghukum dirimu sendiri. Menghukum diri sendiri atas kesalahan yang sepenuhnya bukanlah milikmu. Kamu tak pernah lagi bangun di pagi hari. Kamu tidur sepanjang hari. Kamu tak pernah lagi memandangku. Kamu menatap kehampaan sepanjang waktu. Bahkan, untuk menggerakkan setitik jari saja, kamu tak kuasa. Aku selalu ada disisimu. Selalu. Bahkan sepanjang waktu, hanya untuk melihatmu berdiam diri atau menangis. Kamu tidak mau berbicara. Aku selalu bertanya, apalagi yang salah? Kamu menatapku. Bukan jawaban, hanya tangisanlah yang lolos dari bibir tipismu. Disaat seperti itu aku selalu memeluk tubuhmu yang meringkuk tak bergerak. Apakah kamu tidak sakit? Maksudku, dengan posisi tubuhmu selama sebulan ini diatas ranjang. Tidakkah kamu rindu untuk bangun, ...

Novel Selanjutnya (InsyaAllah)

Aku melihatmu. Lututku goyah tak bersisa. Bisakah aku kembali? Aku ingin mendekap tubuhmu yang kedinginan itu. Mengapa matamu begitu kosong? Kukira dunia telah direnggut begitu kejam darimu. Oh, kamu begitu indah. Kukira akan ada orang lain yang menggantikanku. Aku ingin kamu melihatku. Tapi, kamu melihat menembus diriku. Hatiku begitu terluka sampai ingin menangis. Kamu tahu aku ada disini? Aku selalu ada. Tapi kamu dimana? Bukankah aku yang pergi? Tapi, kenapa kamu yang hilang? Aku hanya pergi tanpa jua menghilang. Aku kembali tanpa membisikan apalagi menyentuhmu. Sekarang, menangislah.. Mengapa kamu masih juga menangis dalam hati? Aku ada disini.. Tak adakah orang lain yang menghiburmu? Tak adakah dia yang membelai rambutmu dan memelukmu hingga kamu sulit untuk bernafas? Aku sungguh ada, kamu hanya tidak mau merasakannya. Mengertilah, aku tidak lagi bernafas. Aku tidak bisa lagi menyentuhmu. Aku tidak bisa lagi menyanyikan lagu-lagu cinta itu. Dan maaf bahwa...