Tulisan kali ini untuk orang yang kemarin berkata belum
mampu menemukan kebahagiannya:')
Aku
memandang jalanan ramai di luar sana. Perjalanan pulang ini selalu
mengingatkanku tentang hal yang sama dengan luka lama yang setia. Aku selalu
menarik napas dalam dan membuangnya secara perlahan setiap kali sikap cengeng
itu akan menyapa. Sesak di dada sudah lama menjadi penyakit yang entah mengapa
tak pernah sembuh sampai sekarang. Bahkan saat aku menutup mata, bayangan itu
tak pernah bisa terusir sepenuhnya. Aku sudah merelakannya. Hanya saja, rasanya
selalu ada yang tertinggal di sana. Sesuatu yang tak akan mampu lagi aku jemput.
Sesuatu yang sudah jauh tertinggal disaat diriku sudah terlalu jauh melangkah.
“Bogor... Bogor...”
Suara kenek
bus membuatku terbebas dari perenungan menyakitkan yang memang sudah lama ingin
aku akhiri. Bogor. Aku menghela napas panjang sebelum bangkit dan menuruni
tangga bus ke luar. Udara Bogor yang sedikit sejuk meski tak sedingin dulu tak
hanya membawa udara dan angin segar, tetapi juga ingatan tentang kejadian
bertahun silam itu. Aku mendongakkan kepala dan memandang sekeliling terminal
yang dipenuhi bus, pedagang asongan dan para penumpang yang turun atau akan
menaiki bus. Semuanya masih sama, tak banyak berubah. Hanya pedagang kaki lima
yang mengalami penertiban setahun lalu, imbas dari kebijakan walikota baru.
Aku melangkah dengan perlahan, menikmati setiap detik di tempat yang selalu
menjadi penghubung antara kampung halaman dengan kota antah berantah yang
kuhuni setengah hati.
“Sukabumi, Mas. Sukabumi. Nyodok. Langsung berangkat.”
Aku masih
ragu ketika akan melanjutkan perjalanan. Aku takut. Sudah lama aku tak pulang.
Rasa rindu bercampur rasa malu sudah menyiutkan nyaliku. Masih ada kesempatan
untukku berbalik dan pulang lagi. Pulang menuju kota antah berantah seperti
penjara tanpa jeruji yang membuatku malah tak ingin beranjak. Wajah Bapak dan
Ibu seketika membayangiku. Kejadian itu pun berkali-kali menghantam tubuhku
yang sudah penuh dosa ini. Aku tak kuasa menemui mereka lagi. Mereka, dengan
hati bagai malaikat selalu memaafkan kesalahanku sebesar apapun itu. Namun, aku
malu.
“Satu lagi. Ayo Mas, sebentar lagi berangkat.”
Aku
memasuki mobil omprengan itu dengan hati sungkan. Benarkah aku telah memutuskan
untuk pulang? Bukankah aku yang dulu berteriak-teriak tak ingin pulang lagi
apapun yang terjadi? Ternyata, secepat inilah manusia berubah. Secepat
perlombaan Formula One favorit Bapak. Sudah lama sekali aku tak menemani Bapak
menonton kompetisi itu. Terakhir adalah saat Fernando Alonso menjadi juara
dunia.
“Mas pulang kampung, ya?”
Sang supir
mobil omprengan disampingku memulai pembicaraan. Beginilah yang aku sukai dari
kota ini, orang-orangnya begitu ramah dengan ketulusan yang tidak dibuat-buat.
“Iya, Pak.”
“Kerja dimana?”
Aku
menengok kearahnya dan menemukan laki-laki tak terlalu tua sedang menatapku.
Wajah orang sederhana dengan ekonomi pas-pasan yang dicekik dengan semakin
melonjaknya harga sembako.
“Di Jakarta.”
“Oh,
deket, ya. Kirain dateng dari Kalimantan atau Sumatera.
Tiap hari juga bisa pulang, kan?”
Aku
tertawa kemudian menggeleng. Pak supir kaget dan menatapku penuh minat.
“Kok bisa, Mas? Atau, pulangnya sebulan sekali?”
Aku
kembali menggeleng.
“Saya sudah 5 tahun ga pulang, Pak.”
Suara deru
mobil omprengan yang berjalan ngebut ditambah dengan seruan kaget Pak Supir
membuatku ngeri. Lebih baik aku menghentikan obrolan ini daripada membahayakan
nyawa penumpang di satu mobil.
“Gila,
Mas. Gak kangen apa sama orangtua? Saya kalau jadi Mas merasa bersalah ninggalin
orangtua selama itu.”
Ini
berbeda, ingin rasanya aku berteriak. Semuanya tak akan menjadi lebih baik
kalau saja lima tahun lalu aku tak memutuskan untuk pergi dan menetap bersama
mereka. Semuanya akan bertambah kacau andai saja dulu aku bersikukuh untuk
melawan mereka dan menjadi anak yang dicap durhaka. Aku lebih memilih
mengasingkan diri, memulai kehidupan baru dan meninggalkan yang lama.
“Pasti Mas ini dapet masalah besar sekali, ya? Sampai
bisa ninggalin orangtua selama itu?”
Tepat
sasaran.
“Mas ini sudah menikah atau belum?”
Pertanyaan
itu mengirimkan makna ganda yang membuat dadaku kembali sesak. Nyaris, itulah
yang ingin aku akui. Hanya saja, aku berpikir untuk apa membuka lagi lembaran
lama kepada orang yang baru saja aku kenal seperti si Pak Supir ini. Aku
memutuskan untuk menggeleng kemudian melempar pandangan keluar jendela dan
mendapati pemandangan areal persawahan kabupaten Bogor.
“Muka Mas ini kayak orang-orang yang
baru gagal menikah.” Kata Pak Supir seraya tertawa.
Aku tahu
dia hanya bergurau, hanya saja, gurauannya terasa tidak lucu karena itu adalah
sebuah kenyataan terpahit yang pernah aku rasakan selama 31 tahun kehidupanku.
“Saya memang pernah gagal nikah, Pak. Lima
tahun lalu.”
Tawa Pak
Supir seketika menghilang digantikan wajah iba yang tulus. Aku tersenyum dan
kembali melempar pandangan keluar jendela.
“Setiap
manusia pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya, Mas. Benar, kan? Hanya
saja caranya berbeda-beda.”
Aku sudah
mendengar dan membaca berbagai macam quotes tentang kegagalan dalam hidup
mungkin hingga ribuan kali. Tak ada yang benar-benar bisa mengobati lukaku
barang setitik saja. Aku membenci para motivator yang berbicara dengan
seenaknya, tentang cara memerbaiki kehidupan semudah membalikkan telapak
tangan. Tak pernah ada yang seperti itu, aku berani bersumpah. Sembilan puluh
persen orang yang menasihati orang lain yang sedang dirundung masalah, tak
pernah menerapkan nasehatnya itu kepada diri sendiri. Mereka semua hanya
membual, merasa bijaksana, merasa memiliki kemampuan memecahkan masalah lebih
baik dibanding orang lain. Ujung-ujungnya, ketika nasihat yang mereka berikan
keliru, mereka tak akan bertanggung jawab. Mereka akan berdalih bahwa semua
kembali kepada diri kita masing-masing.
“Saya 10 tahun lalu ditinggal istri saya,
Mas.”
Untuk
pertama kalinya aku menaruh minat pada Pak Supir ini. Kini giliran aku yang
mencoba memasang wajah iba namun rasanya aku gagal karena Pak Supir ini malah
tertawa terbahak-bahak. Aku hampir menyangkanya gila. Namun, dia menyetir
dengan benar dan tidak ugal-ugalan. Itu cukup membuktikan bahwa dia waras.
“Ditinggal istri?” aku menanyakan dengan
hati-hati.
Pak Supir
mengangguk dengan wajah berseri-seri. Aku tak mengerti lagi, mengapa wajahnya
begitu bahagia saat menceritakan kegagalan yang mungkin terbesar dalam hidupnya
itu.
“Kok Bapak ga sedih?” tanyaku merasa bodoh.
“Sedih
banget, Mas. Jangan disangka. Saya hampir bunuh diri waktu itu, minum Baygon.
Rasanya ga ada guna lagi saya hidup. Perempuan yang paling saya cintai
tiba-tiba pergi ninggalin saya. Tapi, saya sadar kalau saya masih punya banyak
waktu untuk melupakan masa lalu dan memulai hidup baru lagi.”
Tidak akan
semudah itu, teriakku dalam hati. Namun, entah mengapa, satu bagian di hatiku
mulai menyadari bahwa omongan si Pak Supir ini terasa benar.
“Kalau boleh tahu, kenapa istri Bapak bisa
pergi gitu aja?”
Dia
membunyikan klakson saat ada sebuah motor menyalip jalannya di sebelah kanan.
Setelah mengumpat sebentar, dia kembali kepadaku.
“Karena
duit, Mas. Saya kan cuma supir, gak kaya – kaya amat. Dia marah setiap saya
kasih uang dikit. Padahal saya udah kerja keras dari pagi sampe malem buat
menuhin keinginan dia.”
“Bapak
punya anak?”
“Punya
Mas, perempuan.”
Aku
memberi jeda pada obrolan kami. Untuk pertama kalinya aku mendapati orang yang
nasibnya hampir mirip denganku, bahkan mungkin sedikit lebih parah.
“Kalau Mas, kenapa bisa gagal kawin?
Ditinggalin juga?”
Entah aku
harus merasa kesal atau biasa saja dengan pertanyaan-pertanyaan si Pak Supir
ini yang terkesan menghakimi.
“Saya yang ninggalin.”
Sekali
lagi aku mendengar pekikan kaget darinya. Aku hanya tersenyum dan menunduk
menunggu tanggapan selanjutnya. Dia pasti mencaciku dan menghakimiku. Ya, Pak
Supir ini pasti tak ada bedanya dengan yang lainnya.
“Wah, Mas ini hebat.”
Aku
mengeryitkan dahi mendengar jawabannya. Itu bukanlah ungkapan sarkastik,
melainkan kejujuran yang tak pernah aku sangka.
“Maksudnya hebat?”
“Keputusan
Mas untuk ninggalin calon istri pasti karena alasan yang kuat. Buktinya sampai sekarang Mas ga bisa
ngelupain, kan? Saya bisa liat loh, dari muka Mas ini.”
Pak Supir
ini benar-benar diluar ekspetasiku. Dengan kejujuran yang nyata dan kepolosan
yang tak ditutup-tutupi.
“Dia
gak cinta sama saya, Mas. Dia cuma cinta sama uang saya. Kami dijodohkan.”
Aku
mendengar Pak Supir menghela napas.
“Jahat sekali perempuan kayak gitu,
Mas.”
“Semua perempuan memang seperti itu
ya, Pak. Matrealistis.”
Si Pak
Supir langsung menatapku tajam yang aku balas dengan tatapan tak mengerti.
“Mas gak bisa menyamaratakan seperti itu. Meski jelas udah
ada dua contoh perempuan matre kayak calon istri Mas dan mantan istri saya. Kalau
semua perempuan seperti itu, orang-orang miskin kayak saya ini ga akan pernah
dapetin istri, dong?” dia tertawa.
Entah
untuk keberapa kalinya pernyataan polos Pak Supir ini menyadarkan aku akan
banyak hal.
“Anak
saya yang perempuan aja gak pernah peduli tuh sama uang. Dia padahal udah lulus
S1 tapi malah kerja jadi relawan di yayasan. Saya kadang gak ngerti lagi sama dia, Mas.”
Aku
sedikit kaget mengetahui bahwa anak perempuan si Pak Supir berhasil menempuh
pendidikan S1-nya. Ini benar-benar di luar ekspetasiku. Aku sempat berpikir
bagaimana dia bisa membiayai kuliah anaknya.
“Mas pasti mikir, kan, kok anak saya bisa kuliah
sementara saya ini miskin banget?”
Aku sempat
akan mengelak namun ia cepat-cepat melanjutkan.
“Saya
dulu sempat mikir bahwa kehidupan saya sudah berakhir semenjak istri saya
pergi. Tapi, kemudian saya melihat anak perempuan saya dan saya dapet kekuatan
dari dia. Saya tahu bahwa masih ada orang lain yang membutuhkan saya dan itu
anak saya sendiri. Kami berjuang sama-sama, Mas. Dia pinter sekali, dapet
beasiswa S1 di jurusan Hukum.”
Aku
terpaku untuk beberapa saat. Orang yang tidak memiliki apa-apa seperti Pak
Supir ini saja bisa bangkit dari keterpurukan masa lalunya. Lalu bagaimana
dengan aku yang seolah sudah merasa nyaman dengan rasa sakit yang datang
menyapa setiap hari? Logika yang dulu menjadi kebangganku semasa kuliah kini
sudah kembali. Otakku yang sampai beberapa saat lalu sebelum naik ke mobil
omprengan ini masih terasa tumpul, kini kembali terasah dengan cepat. Aku harus
bangkit.
“Saya lupa, Mas, kita belum kenalan.”
Pak Supir
mengulurkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang kemudi mobil.
Saya meraih tangannya dan menyebutkan nama.
“Setia, Pak.”
Tangannya berguncang-guncang
di tangankku karena dia tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak.
“Nama saya juga Setia, Mas. Nama
sama, nasib juga sama.”
Untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir ini aku
tertawa lepas. Maksudku, benar-benar tanpa beban. Setia. Dua Setia yang
tertinggal. Ungkapan itu membuatku menertawakan diriku sendiri... untuk yang
terakhir kalinya. Aku telah menemukan diriku yang dulu sempat hilang karena
Setia yang lain.
Komentar
Posting Komentar