Langsung ke konten utama

Curhat Seorang Kawan


Hai, kawan, begitu lama kita tak berjumpa kembali, merangkai kisah yang terlanjur terucapkan, tentang mereka, orang yang paling berarti dalam hidup kita, yang telah melukai diri kita terlalu dalam dengan cara saling menyakiti. Kemarin, aku begitu merindukanmu. Masih sama, dalam rasa sesak yang dipenuhi ragu, aku kembali mengingat tentang mereka. Mungkinkah kamu juga demikian? Atau ada luka baru yang timbul, namun kamu enggan untuk mencariku padahal aku selalu menunggumu. Menunggumu dengan kisah sedihmu yang tak mampu kau ungkapkan kepada siapapun.

Kawan, sudah sejak awal kita bertemu dan saling bercerita, aku merasa takdir tidak terjadi begitu saja. Aku dan kamu dipertemukan dengan cerita dan luka yang sama. Bedanya, aku lebih dulu dan kamu menyusul kemudian. Akan tetapi, rasa sakit itu nyata bahkan sampai sekarang. Aku hanya tidak percaya, bahwa ada sosok anak lain yang juga merasakan rasa sakitku dulu. Aku melihatnya begitu nyata dan pedih dalam tatap matamu ketika bercerita, dalam getar bibirmu untuk menahan tangis, dan dalam tubuh ringkihmu yang mencoba menahan derita.

Kemarin, aku mendengar kabarmu dari orang lain. Sudah lama sekali kamu menghilang, tanpa mengabariku sedikitpun. Aku tidak marah, aku hanya khawatir. Aku khawatir apakah mereka kembali menyakitimu dengan cara yang sama, berulang-ulang, terus-menerus, tiada henti, bahkan mungkin sampai kamu tak mampu lagi merasa. Aku mengkhawatirkanmu, kawan. Aku khawatir sampai berniat melupakanmu dengan semua ceritamu. Akan tetapi, aku ingin tetap ada di setiap langkah kemanapun kamu pergi. Aku tak mau kamu sendiri. Aku tidak mau kamu sendiri. Biarlah orang lain menyebut kita anak tidak beruntung yang lahir dari rumah yang tidak seharusnya melahirkan kita. Biarkan, kawan. Kita sudah terbiasa bersahabat dengan kesedihan. Kesedihan adalah sahabat kita yang paling setia.

Kawan, apakah masih terasa sakit? Jangan tanyakan kepadaku kemana kamu harus berlari karena aku tidak tahu. Aku masih tidak tahu kamu harus pergi kemana karena sesungguhnya kita berada di penjara yang sama. Aku tidak tahu kita harus lari kemana. Bukankah sudah kubilang tadi? Kesedihan adalah sahabat yang paling setia. Marilah kita terus di sini, dengan kesedihan yang tidak mau dibagi. Ia terlalu pelit dengan orang lain. Ia menyayangi kita, tidak seperti kebahagiaan.

Kawan, akan tetapi aku telah menemukan seseorang yang sedikit memberikan cahaya. Dia mengajariku caranya melangkah dalam lorong gelap, setapak demi setapak, seraya meraba-raba mungkinkah ada masa depan yang indah bagiku. Ia ada di sana setiap aku mulai menangis dan putus asa. Kawan, aku begitu menyayanginya. Dia adalah orang pertama yang aku percayai sepenuh hati untuk pertama kalinya dalam hidup ini. Aku menyebutnya keajaiban. Kawan, percayalah bahwa kamu juga akan menemukan orang seperti itu. Atau mungkin kini kita berbagi orang yang sama? Jika tidak, mungkin kau harus mulai mencari. Mencari orang yang setiap kali kau berkata “Isi dari sebuah pernikahan adalah perselingkuhan.” Dia akan dengan tegas menjawab “Tidak, tidak semua seperti itu.” Atau orang yang setiap kali kau mengatakan “Tujuan pernikahan adalah untuk bercerai dan menelantarkan anak-anak.” Dia akan menjawab “Tujuan pernikahan bukan seperti itu. Banyak orang yang menikah kemudian bahagia sampai akhir hayat mereka.”


Kawan, semoga kita akan bertemu lagi. Dengan cerita dan sorot mata yang berbeda. Aku sangat menantikan hari itu. Hari dimana aku tak lagi bersedih, begitupun dengan kamu. Hari dimana, kita mulai percaya bahwa dunia ini terlalu indah untuk kita isi dengan tangis dan penderitaan kita. Hari dimana, mereka yang telah melahirkanmu, berhenti saling menyakiti dan berpulang kepadamu dengan kasih sayang yang sama seperti dulu. Kemudian, kamu akan berlari kepadaku, memelukku, dan berkata bahwa kamu adalah wanita paling bahagia di dunia ini. Aku menunggu saat itu, kawan.

Aku selalu menunggu saat itu... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baru

Akhirnya baru bisa punya blog lagi:) Setelah lebih dari setahun ga bukan blog (dan lupa password), sekarang punya akun baru. Berharap blog ini berguna gacuma bagi temen-temen tapi juga orang banyak. Salam.

UNTITLED

Sudah satu bulan. Empat minggu. Tiga puluh hari. Tiga puluh kali pergantian siang dan malam. Tujuh ratus dua puluh jam. Empat puluh tiga ribu dua ratus menit. Detik mungkin tak perlu kuhitung. Selama itu waktu yang kamu habiskan hanya untuk menghukum dirimu sendiri. Menghukum diri sendiri atas kesalahan yang sepenuhnya bukanlah milikmu. Kamu tak pernah lagi bangun di pagi hari. Kamu tidur sepanjang hari. Kamu tak pernah lagi memandangku. Kamu menatap kehampaan sepanjang waktu. Bahkan, untuk menggerakkan setitik jari saja, kamu tak kuasa. Aku selalu ada disisimu. Selalu. Bahkan sepanjang waktu, hanya untuk melihatmu berdiam diri atau menangis. Kamu tidak mau berbicara. Aku selalu bertanya, apalagi yang salah? Kamu menatapku. Bukan jawaban, hanya tangisanlah yang lolos dari bibir tipismu. Disaat seperti itu aku selalu memeluk tubuhmu yang meringkuk tak bergerak. Apakah kamu tidak sakit? Maksudku, dengan posisi tubuhmu selama sebulan ini diatas ranjang. Tidakkah kamu rindu untuk bangun, ...

Novel Selanjutnya (InsyaAllah)

Aku melihatmu. Lututku goyah tak bersisa. Bisakah aku kembali? Aku ingin mendekap tubuhmu yang kedinginan itu. Mengapa matamu begitu kosong? Kukira dunia telah direnggut begitu kejam darimu. Oh, kamu begitu indah. Kukira akan ada orang lain yang menggantikanku. Aku ingin kamu melihatku. Tapi, kamu melihat menembus diriku. Hatiku begitu terluka sampai ingin menangis. Kamu tahu aku ada disini? Aku selalu ada. Tapi kamu dimana? Bukankah aku yang pergi? Tapi, kenapa kamu yang hilang? Aku hanya pergi tanpa jua menghilang. Aku kembali tanpa membisikan apalagi menyentuhmu. Sekarang, menangislah.. Mengapa kamu masih juga menangis dalam hati? Aku ada disini.. Tak adakah orang lain yang menghiburmu? Tak adakah dia yang membelai rambutmu dan memelukmu hingga kamu sulit untuk bernafas? Aku sungguh ada, kamu hanya tidak mau merasakannya. Mengertilah, aku tidak lagi bernafas. Aku tidak bisa lagi menyentuhmu. Aku tidak bisa lagi menyanyikan lagu-lagu cinta itu. Dan maaf bahwa...