Hai, kawan, begitu lama kita tak
berjumpa kembali, merangkai kisah yang terlanjur terucapkan, tentang mereka,
orang yang paling berarti dalam hidup kita, yang telah melukai diri kita
terlalu dalam dengan cara saling menyakiti. Kemarin, aku begitu merindukanmu.
Masih sama, dalam rasa sesak yang dipenuhi ragu, aku kembali mengingat tentang
mereka. Mungkinkah kamu juga demikian? Atau ada luka baru yang timbul, namun
kamu enggan untuk mencariku padahal aku selalu menunggumu. Menunggumu dengan
kisah sedihmu yang tak mampu kau ungkapkan kepada siapapun.
Kawan, sudah sejak awal kita
bertemu dan saling bercerita, aku merasa takdir tidak terjadi begitu saja. Aku
dan kamu dipertemukan dengan cerita dan luka yang sama. Bedanya, aku lebih dulu
dan kamu menyusul kemudian. Akan tetapi, rasa sakit itu nyata bahkan sampai
sekarang. Aku hanya tidak percaya, bahwa ada sosok anak lain yang juga
merasakan rasa sakitku dulu. Aku melihatnya begitu nyata dan pedih dalam tatap
matamu ketika bercerita, dalam getar bibirmu untuk menahan tangis, dan dalam
tubuh ringkihmu yang mencoba menahan derita.
Kemarin, aku mendengar kabarmu
dari orang lain. Sudah lama sekali kamu menghilang, tanpa mengabariku
sedikitpun. Aku tidak marah, aku hanya khawatir. Aku khawatir apakah mereka
kembali menyakitimu dengan cara yang sama, berulang-ulang, terus-menerus, tiada
henti, bahkan mungkin sampai kamu tak mampu lagi merasa. Aku mengkhawatirkanmu,
kawan. Aku khawatir sampai berniat melupakanmu dengan semua ceritamu. Akan
tetapi, aku ingin tetap ada di setiap langkah kemanapun kamu pergi. Aku tak mau
kamu sendiri. Aku tidak mau kamu sendiri. Biarlah orang lain menyebut kita anak
tidak beruntung yang lahir dari rumah yang tidak seharusnya melahirkan kita.
Biarkan, kawan. Kita sudah terbiasa bersahabat dengan kesedihan. Kesedihan
adalah sahabat kita yang paling setia.
Kawan, apakah masih terasa sakit?
Jangan tanyakan kepadaku kemana kamu harus berlari karena aku tidak tahu. Aku
masih tidak tahu kamu harus pergi kemana karena sesungguhnya kita berada di
penjara yang sama. Aku tidak tahu kita harus lari kemana. Bukankah sudah
kubilang tadi? Kesedihan adalah sahabat yang paling setia. Marilah kita terus
di sini, dengan kesedihan yang tidak mau dibagi. Ia terlalu pelit dengan orang
lain. Ia menyayangi kita, tidak seperti kebahagiaan.
Kawan, akan tetapi aku telah
menemukan seseorang yang sedikit memberikan cahaya. Dia mengajariku caranya melangkah
dalam lorong gelap, setapak demi setapak, seraya meraba-raba mungkinkah ada
masa depan yang indah bagiku. Ia ada di sana setiap aku mulai menangis dan
putus asa. Kawan, aku begitu menyayanginya. Dia adalah orang pertama yang aku
percayai sepenuh hati untuk pertama kalinya dalam hidup ini. Aku menyebutnya
keajaiban. Kawan, percayalah bahwa kamu juga akan menemukan orang seperti itu.
Atau mungkin kini kita berbagi orang yang sama? Jika tidak, mungkin kau harus
mulai mencari. Mencari orang yang setiap kali kau berkata “Isi dari sebuah
pernikahan adalah perselingkuhan.” Dia akan dengan tegas menjawab “Tidak, tidak
semua seperti itu.” Atau orang yang setiap kali kau mengatakan “Tujuan
pernikahan adalah untuk bercerai dan menelantarkan anak-anak.” Dia akan
menjawab “Tujuan pernikahan bukan seperti itu. Banyak orang yang menikah
kemudian bahagia sampai akhir hayat mereka.”
Kawan, semoga kita akan bertemu
lagi. Dengan cerita dan sorot mata yang berbeda. Aku sangat menantikan hari
itu. Hari dimana aku tak lagi bersedih, begitupun dengan kamu. Hari dimana,
kita mulai percaya bahwa dunia ini terlalu indah untuk kita isi dengan tangis dan
penderitaan kita. Hari dimana, mereka yang telah melahirkanmu, berhenti saling
menyakiti dan berpulang kepadamu dengan kasih sayang yang sama seperti dulu.
Kemudian, kamu akan berlari kepadaku, memelukku, dan berkata bahwa kamu adalah
wanita paling bahagia di dunia ini. Aku menunggu saat itu, kawan.
Aku selalu menunggu saat itu...
Komentar
Posting Komentar