Dia
kehilangan dirinya sendiri. Aku bisa melihat itu dari matanya. Aku meyakini itu
dari tindakannya selama ini. Aku perlu membawanya kembali. Aku perlu membuatnya
mengerti bahwa dirinya begitu berarti. Akan tetapi, niat itu sudah hancur
beberapa saat lalu saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri perbuatannya
selama beberapa bulan belakangan. Secara membabi buta aku memukuli lelaki itu
dan mengusirnya keluar. Aku menutup pintu dengan kasar dan kemudian bersandar
seolah tidak kuasa menahan beban tubuhku sendiri. Perlahan, aku jatuh terduduk
sambil menganga tak percaya. Di hadapanku, berdiri sesosok perempuan yang kukenal
lebih dari 10 tahun lalu dengan rambut panjangnya yang acak-acakan, kaus putih
longgar, dan kaki jenjang yang telanjang. Aku menutup mulutku menahan emosi dan
tangis yang akan meledak. Tenggorokanku tercekat, aku takut dengan suaraku
sendiri. Sementara perempuan itu sudah terlebih dahulu menangis dan duduk
terjatuh. Ada jarak empat langkah yang harusnya kutempuh. Hal yang dulu selalu
kulakukan saat dia menangis. Namun, saat ini aku tak mampu. Akalku hilanga.
“Maaf....” ucap perempuan itu dengan suara bergetar.
Kini, ada seribu jarak
tak kasat mata yang memisahkan diriku dengan dirinya. Kini, ada sejuta
ketidakmungkinan yang membuatku tidak bisa untuk meraihnya. Ada milyaran senyap
yang menghantarkan rasa dingin membeku di seluruh tubuhku hingga kebas.
Perempuan itu kini menangis sambil tertunduk. Kedua tangannya tertumpu pada
lantai yang sedingin es. Pandangannya terangkat kepadaku. Tatapan itu, seperti
seekor anjing yang merindukan induk semangnya.
“Kumohon berbicaralah walau sepatah kata.” Pintanya
padaku.
Air mataku kini
menetes.
“Aku
memang wanita jalang. Aku memang pelacur. Tapi, aku mencintainya. Aku bukan
orang ketiga. Aku hanya datang terakhir.”
Tangisnya kembali
meledak. Dan itu seperti sesuatu yang kemudian juga menular padaku. Dalam sekejap
dia merangkak kepadaku dan memelukku begitu erat, seolah di sana akan ada
pemaafan.
“Kamu
sudah berjanji, Nes. Kamu sudah berjanji untuk mengakhiri semua ini.” Kataku
pada akhirnya.
Dia melepaskan
pelukannya. Wajahnya yang seputih lilin itu sedikit kemerahan karena emosi dan
tangis. Matanya sangat sembab karena air mata. Dia menggenggam kedua tanganku,
matanya terlihat ingin meyakinkan diriku bahwa aku salah.
“Ca,
dia berjanji akan segera menceraikan istrinya. Dia hanya mencintai aku, Ca.
Setelah dia bercerai dia akan menikahi aku, Ca.”
Aku menggelengkan
kepalaku dalam. Tidak akan pernah semudah itu. Aku mempunyai firasat bahwa
lelaki itu tidak akan pernah menceraikan istrinya. Bukan karena dia tidak
mencintai Nessa, namun karena pernikahan yang sudah dibangun selama lebih dari
10 tahun tidak akan pernah dengan mudah hilang penghargaannya. Lelaki itu akan
bertahan karena masih ada rasa hormat tertinggal untuk istrinya. Apalah kamu,
Nes. Hanya seorang perempuan muda yang cantik, pintar, dan mandiri. Sedangkan
istrinya, kamu tidak pernah tahu, Nes, rasanya menjadi dirinya. Dia bahkan
sudah mengenal lelaki itu jauh sebelum kamu mengenalnya. Dia yang sudah
melahirkan seorang anak yang kini berusia 5 tahun untuk lelaki itu. Dia yang
sudah menemani lelaki itu dari nol hingga menjadi sukses. Nessa, lelaki itu
ialah hasil perjalanan panjang bersama seorang perempuan hebat yang kini
menjadi istrinya. Tidak ada kamu dalam masa lalunya yang penuh perjuangan.
Kamu, Nessa, sahabatku, hanya terbuai dalam imaji dirimu sendiri. Mungkinkah,
kamu, wahai sahabatku, adalah bayaran yang begitu pantas untuk masa lalu
orangtuamu yang begitu kelam?
“Nes,
kamu harus ingat Ibu kamu. Kamu tahu, kan, betapa sakit hatinya Ibu kamu saat
Ayah kamu memutuskan untuk meninggalkan dia dan menikahi perempuan lain? Kamu
masih ingat kan, Nes?” kataku dengan suara lemah.
“Nggak,
Ca, Ibuku hanya bodoh. Dia menikah dengan lelaki yang tidak mencintainya. Itu
kesalahannya sendiri.”
Rasanya aku ingin
membenturkan kepala cantik sahabatku ke lantai, agar dia sadar bahwa dia sudah
kehilangan akal sehatnya.
“Nes, dia gak akan menceraikan istrinya. Dia gak akan
menikahi kamu.”
Tangisnya perlahan
reda. Dia membersihkan sisa-sisa air mata di pipinya. Ia kemudian bangkit dan
berjalan menuju jendela kamar apartemennya yang kecil ini. Ia berbalik dan
berkata padaku.
“Mending
kamu pergi sekarang. Nggak cuma dari ruangan ini, tapi juga dari hidupku. Aku
nggak butuh sahabat kayak kamu yang cuma bisanya memberikan rasa pesimisme pada
diriku. Kamu tahu kan pintu keluarnya dimana?”
Rasa tersinggungku
mengalahkan rasa kagetku. Nessa yang dulu memang sudah pergi. Dengan harga diri
yang tersisa aku bangkit dari lantai dan merapihkan kemejaku yang sedikit
kusut. Sebelum keluar dari ruangan itu, aku berbalik dan menatap Nessa mungkin
untuk yang terakhir kalinya.
“Hanya
mengingatkan satu hal, Nes. Jangan pernah lagi mencariku jika nanti terjadi
sesuatu padamu.”
Aku
kemudian menyadari di kemudian hari, bahwa itu memang menjadi saat terakhirku
melihat sahabatku, Nessa.
Pagi
itu, tidak biasanya hujan turun begitu deras. Saat ini bulan Juni, bulan
termustahil akan turunnya hujan. Aku bangkit dari kasur dan menyeduh kopi pagi
hariku. Dengan uap yang mengepul aku membawa gelas kopiku ke depan jendela. Aku
menatap langit kelabu Jakarta di luar sana. Hujan selalu mengingatkanku akan
Nessa. Hujan juga mengingatkanku akan buku kesukaan Nessa, Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono. Sudah dua bulan berlalu semenjak terakhir kali aku
bertemu dengannya.
Aroma
nikmat espresso disertai dengan cuaca dingin karena hujan melemparkan pikiranku
ke masa-masa saat bersama Nessa dulu. Aku mengenalnya pertama kali ketika SMA.
Kami selalu sekelas sampai kelas 12. Hanya Tuhan yang tahu kenapa pada akhirnya
kami juga masuk universitas sama. Orang-orang yang mengenal kami selalu
menyebut kami sebagai saudara yang terpisah semenjak lahir dan akhirnya bisa
bertemu kembali. Nessa menjadi satu-satunya perempuan yang kukenal yang sulit
untuk jatuh cinta. Pacaran tidak pernah ada dalam kamusnya. Itu mengapa aku
begitu sangat terluka bahwa cintanya yang pertama ia serahkan kepada lelaki
yang tidak pantas untuk menerimanya.
Nessa
juga mungkin menjadi satu-satunya perempuan yang kukenal yang memiliki sisi
kerapuhan luar biasa yang pernah aku kenal. Akan tetapi, di sisi lain, dia juga
terlihat sangat kuat dan mandiri. Paradoks tersebut akhirnya aku pahami ketika
sudah mengenal dirinya lebih baik. Terlahir dari keluarga yang tidak mampu,
orangtua yang selalu bertengkar, dan lingkungan tempat tinggal yang buruk telah
membentuk karakter Nessa yang berbeda dari teman-teman lainnya yang pernah
kutemui. Puncaknya ialah ketika kedua orangtuanya memutuskan untuk bercerai dan
hanya berselang satu bulan Ayahnya menikahi perempuan lain yang selama ini
menjadi selingkuhannya. Saat itu kami masuk semester 1 perkuliahan. Aku begitu
ingat Nessa tidak pernah menangis, namun ada suatu hari dimana ia menangis
dalam pelukanku. Itu menjadi tangis Nessa yang pertama. Tangis Nessa kedua dan
terakhir ialah dua bulan lalu, saat ia dengan kasar mengusirku dari apartemennya.
Tegukan
pertama espresso-ku terhenti saat ponselku berdering. Tidak biasanya sebagai
seorang freelancer copywriter, aku mendapat panggilan sepagi ini. Aku beranjak
dari jendela dan meraih ponselku yang berada di laci sebelah kasur. Nama yang
tertera di sana membuatku mengernyitkan dahiku. “Mama Nessa”. Aku buru-buru
mengangkat telepon tersebut. Seketika, ada firasat buruk menghantui pikiranku.
“Halo—“
Satu kalimat yang
menjadi kalimat pertama di hariku tersebut sudah cukup membuatku ingin tak
sadarkan diri saja. Namun, hal berikutnya yang aku lakukan adalah menjatuhkan
kopiku, mengganti kilat pakaianku, memakai jaket, memesan taksi, dan berlari
menuju lobby dan memulai perjalanan menuju rumah duka. Sepanjang perjalanan aku
menangis, namun saat berada di hadapan jasadnya, air mataku mengering. Nessa
Aswari meninggal dunia karena bunuh diri dengan cara menggantung dirinya
sendiri. Jasadnya ditemukan tiga hari kemudian oleh Ibunya sendiri. Tidak ada
tanda-tanda kekerasan yang aku harapkan dapat memberatkan lelaki itu. Tidak ada
pesan terakhir yang tertinggal. Sudah dapat kupastikan Nessa mati dalam
kubangan air matanya sendiri dan dalam senyap hati pada segenap orang yang
menyayanginya.
Keesokan harinya, setelah sebelumnya aku mengalami hari
yang begitu melelahkan karena kematian Nessa, aku menemukan berita yang begitu
menarik di koran pagi itu. Tulisannya begitu besar seolah ingin memberikan
penekanan yang sebenarnya tidak diperlukan. “Seorang
Dokter Spesialis Ortopedi Muda Mendapat Penghargaan Internasional karena
Penemuannya yang Fantastis.” Aku mengenali wajah lelaki tersebut. Hatiku
terbakar melihat senyum lelaki tersebut saat menerima penghargaan, ditemani
oleh istrinya yang cantik dan anaknya yang lucu. Di sudut kanan koran tersebut,
begitu kontras dengan berita utama, terdapat berita “Dokter Muda Ditemukan Gantung Diri di Apartemennya.”
Bukankah sudah pernah
kubilang, Nes? Dia tidak akan pernah menceraikan istrinya dan dia tidak akan
pernah menikahimu. Kamu yang hanya terlalu bodoh.
Komentar
Posting Komentar