Langsung ke konten utama

Mengeja Namamu: M A M A

Entah apa yang membuatku tiba-tiba merindukan untuk mengucap namamu. Rasa rindu yang tak biasa karena tak pernah kurasakan sebelumnya. Kukira, sama seperti kepergian dirimu, luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Aku salah, karena kini aku benar-benar merindukan untuk mengucap namamu. Seperti sesuatu yang kutumpuk dari lama tanpa kusadari. Kini, monster itu mencoba keluar dari kotak yang kubuat sendiri. Aku tak pernah mengalami pertentangan batin semacam ini semenjak Waktu mengambilmu untuk selama-selamanya. Yang aku butuhkan selama ini hanyalah rutinitas dan kesibukan luar biasa yang selalu menenggelamkan bayangmu di hariku. Tanyakan aku tentang hidup, maka aku tak kan mampu menjelaskannya. Tanyakan aku tentang kematian, maka aku menjawab bahwa kekuatan misterius itu adalah kamu. Kamu yang menggambarkan secara detail bagaimana sosok gelap itu menjemputmu dan mengambilmu untuk selama-lamanya dari dekapanku. Aku bahkan belum sempat mendekapmu. Aku sedang dalam perjalanan. Apa kamu ingat? Aku ingin tahu apakah kamu marah karena saat Waktu akan menjemputmu, aku tak pernah berada disampingmu. Kau mungkin benar-benar marah. Ada saat dimana aku menyesal akan apa yang terjadi diantara kita sebelum kepergianmu. Kamu ingat? Aku terlalu pengecut untuk mengakui bahwa akulah yang bersalah saat itu. Aku takut karena aku tahu bahwa sulit untuk memaafkan diriku sendiri.  Aku melepaskanmu tanpa penerimaan yang tak pernah ditanyakan. Aku tidak pernah berdamai dengan diriku sendiri, bahkan sampai napas terakhirmu. Aku mengalami semacam paradoks masa lalu yang selalu membuatku bingung. Aku jatuh bahkan terjerembab di lubang besar yang ku ciptakan sendiri. Dulu, tak sesulit ini untuk mengingatmu. Sama seperti sosokmu, nama yang melekat selama dirimu hidup pun hanya berani kuucapkan dalam hati. Ketika itupun hatiku berdarah. Aku masih bingung karena tak ada noda merah sedikitpun di semua baju yang sering ku pakai.  

Ah, aku benar-benar ingin mengucap namamu dalam hening. Aku ingin mengejanya, merasakan sensasi yang sama sekali tak ingin kubayangkan. Tapi, sebelum namamu terucap dari bibirku yang sudah sering menyunggingkan senyum palsu ini, aku ingin sedikit mengingat sosok dirimu. Kamu ingat film yang dulu sering kita tonton bahkan sampai berkali-kali? Kita bahkan meneteskan air mata saat si tokoh utama pergi selama-lamanya. Lucunya, caramu pergi juga sama dengan tokoh utama dalam film itu. Kamu waktu itu bilang, tak sepantasnya kebahagiaan semacam itu direnggut bahkan dalam kematian yang terlampau cepat. Kamu bilang kita hidup di dunia ini dengan perjanjian sebelumnya. Bahkan sebelum kita lahir, kita sudah sepakat mengenai perjanjian itu dengan Dia. Aku mendengarkanmu dengan khidmat waktu itu. Meski umurku masih terlalu muda untuk mengerti pembicaraan kita saat itu. Tapi, aku mampu mengingatnya. Dan kini aku mengerti. Aku mengerti bahkan aku merasakannya. Kehidupan ini memang terlalu singkat untuk kebahagiaan semacam itu. Tak sepantasnya ada kebahagiaan yang terlampau memuncak hingga akhirnya kamu hanya akan tercerabut tanpa ampun dari dunia ini. Kamu bilang bahwa kita tak bisa menolak. Aku kini ingin memberontak. Pantaskah kita diciptakan hanya untuk merasakan manis sesaat dan kemudian kita harus dengan sangat amat cepat pergi, padahal kita belum menginginkannya? Atau mungkin, sebagai manusia biasa aku tak pantas mempertanyakannya? Jika orang sering menyebut ‘manusia biasa’, adakah manusia yang tidak biasa yang memiliki hak hidup tak terbatas didunia ini? Yang pergi hanya ketika mereka menginginkannya. Atau ini salah kita sebagai manusia yang tergoda dengan tawaran hidup singkat di dunia yang terkadang bak dongeng ini? Harus ku akui, aku membenci. Aku membenci segala keterbatasan yang melekat dalam susunan alamiah kita.

Sesulit inilah ketika aku merindumu dalam kata. Aku sampai mencaci semua hal ada yang disekelilingku. Merindu sampai kurasakan seluruh tubuhku melumer dan melebur menjadi satu dalam keterpurukan dunia yang sudah tak lagi muda. Aku ingat, kamu pernah berkata bahwa dunia ini sudah terlalu usang bagi kita. Harusnya kelahiran kembali juga terjadi pada dunia. Menyesuaikan dirinya dengan kita sebagai makhluk yang hidup didalamnya. Aku merindumu. Merindumu hingga kurasakan tak ada lagi apapun di dunia ini yang mampu menolongku. Aku ingin tertidur, lelap sekali. Aku ingin merasakan ketenangan yang tak pernah kurasakan semenjak kepergianmu. Aku menjadi orang lain. Demi melenyapkanmu dari ingatan manusia yang terbatas ini, aku berubah menjadi sesuatu yang lebih tahan banting. Tak akan ada orang seperti dirimu lagi yang mampu membuatku terjatuh, bahkan sampai saat ini. Aku mulai belajar mencintai orang lain dengan sederhana. Sesederhana kepergian mereka yang akan tiba-tiba pada suatu hari nanti. Sesederhana takdir yang mencerabut orang-orang yang kusayangi dari dunia ini. Sesederhana keterpaksaanmu ketika meninggalkan tubuh ringkih ini. Cukup hanya dengan itu, aku takkan pernah lagi menangis ketika orang-orang yang ada disekelilingku pergi untuk selama-lamanya. Aku hanya akan diam dan berkata, “Aku menerima.”

Ah, aku benar-benar merindu mengucap namamu. Bolehkah? Apakah kamu akan kembali saat aku mengucap namamu dalam kepedihan tak terpahami, bahkan oleh diriku sendiri? Aku merindumu. Setiap hari. Di setiap tarikan napas.  Di setiap langkah kaki yang kuambil. Di setiap senyuman yang kupaksakan. Di setiap kebahagiaan semu yang kurasakan dan di setiap kesedihan yang tak pernah berhenti menjadi kawan setiaku. Aku merindumu. Setiap detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun. Saat dimana mungkin aku sudah terlalu lelah dan memilih menyonsong kematian yang lebih cepat. Aku selalu punya pilihan. 

Aku merindumu dalam kata. Aku ingin mengucapkan namamu secepatnya agar rasa sakit ini juga dengan cepat berlalu. Aku merindukanmu...
MAMA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baru

Akhirnya baru bisa punya blog lagi:) Setelah lebih dari setahun ga bukan blog (dan lupa password), sekarang punya akun baru. Berharap blog ini berguna gacuma bagi temen-temen tapi juga orang banyak. Salam.

UNTITLED

Sudah satu bulan. Empat minggu. Tiga puluh hari. Tiga puluh kali pergantian siang dan malam. Tujuh ratus dua puluh jam. Empat puluh tiga ribu dua ratus menit. Detik mungkin tak perlu kuhitung. Selama itu waktu yang kamu habiskan hanya untuk menghukum dirimu sendiri. Menghukum diri sendiri atas kesalahan yang sepenuhnya bukanlah milikmu. Kamu tak pernah lagi bangun di pagi hari. Kamu tidur sepanjang hari. Kamu tak pernah lagi memandangku. Kamu menatap kehampaan sepanjang waktu. Bahkan, untuk menggerakkan setitik jari saja, kamu tak kuasa. Aku selalu ada disisimu. Selalu. Bahkan sepanjang waktu, hanya untuk melihatmu berdiam diri atau menangis. Kamu tidak mau berbicara. Aku selalu bertanya, apalagi yang salah? Kamu menatapku. Bukan jawaban, hanya tangisanlah yang lolos dari bibir tipismu. Disaat seperti itu aku selalu memeluk tubuhmu yang meringkuk tak bergerak. Apakah kamu tidak sakit? Maksudku, dengan posisi tubuhmu selama sebulan ini diatas ranjang. Tidakkah kamu rindu untuk bangun, ...

Novel Selanjutnya (InsyaAllah)

Aku melihatmu. Lututku goyah tak bersisa. Bisakah aku kembali? Aku ingin mendekap tubuhmu yang kedinginan itu. Mengapa matamu begitu kosong? Kukira dunia telah direnggut begitu kejam darimu. Oh, kamu begitu indah. Kukira akan ada orang lain yang menggantikanku. Aku ingin kamu melihatku. Tapi, kamu melihat menembus diriku. Hatiku begitu terluka sampai ingin menangis. Kamu tahu aku ada disini? Aku selalu ada. Tapi kamu dimana? Bukankah aku yang pergi? Tapi, kenapa kamu yang hilang? Aku hanya pergi tanpa jua menghilang. Aku kembali tanpa membisikan apalagi menyentuhmu. Sekarang, menangislah.. Mengapa kamu masih juga menangis dalam hati? Aku ada disini.. Tak adakah orang lain yang menghiburmu? Tak adakah dia yang membelai rambutmu dan memelukmu hingga kamu sulit untuk bernafas? Aku sungguh ada, kamu hanya tidak mau merasakannya. Mengertilah, aku tidak lagi bernafas. Aku tidak bisa lagi menyentuhmu. Aku tidak bisa lagi menyanyikan lagu-lagu cinta itu. Dan maaf bahwa...