Setiap orang punya cerita masing-masing tentang cinta mereka. Dalam suatu hubungan, pasti ada dua cerita yang berbeda. Tak jarang, bahkan mungkin pasti, itu juga yang terjadi dalam cerita cinta orangtua kita. Coba tanyakan kepada Papa dan Mama kalian, minimal. kalian akan menemukan detail berbeda dalam satu cerita yang sama:') Tulisan dibawah ini hanya fiksi, bukan buat menyinggung siapapun.
1. Surat dari Ibu untuk 'Nan...'
Aku mulai menulis buku ini ketika tahu bahwa suatu hari akan ada orang yang membutuhkannya. Nan, aku menulis buku ini tepat ketika kamu baru berusia 6 tahun. Kamu mulai masuk kelas 1 SD dan aku begitu bangga padamu. Hari pertama sekolah kamu begitu riang menggenggam tanganku sambil berlari kecil. Kamu bilang bahwa kamu tidak sabar untuk bertemu teman-teman barumu. Aku menciumi wajahmu ketika kamu akan masuk kelas. Kamu melambaikan tangan sebelum memasuki ‘hidup’ barumu. Betapa bahagianya aku hari itu, Nan. Aku merasa telah melewati fase pertama dalam hidupku. Melahirkanmu, merawatmu kemudian melihatmu menginjakan kaki di sekolah tingkat pertamamu. Kamu mungkin belum menyadari bahwa kamu berarti segalanya bagiku. Dengan kehadiranmu, kamu mengubah segalanya dalam hidupku. Dulu, sebelum kamu ada, aku selalu berpikir bahwa tak ada lagi yang paling aku cintai selain diriku sendiri. Tapi, ternyata aku salah, Nan. Setelah kamu lahir, aku bahkan rela memberikan seluruh hidupku hanya untuk kamu. Gadis kecilku yang selalu ingin aku peluk sepanjang hari. Kamu membuat hidupku sempurna. Meski awalnya aku ragu akan kehadiranmu, aku takut kamu menjadi beban. Aku takut karena aku bertanggung jawab atas kehadiranmu di dunia yang sudah usang ini. Aku begitu bimbang saat mengetahui bahwa ada kehidupan didalam tubuhku. Aku merasa harus melakukan sesuatu. Mana mungkin aku membiarkan kamu lahir disaat kondisi dunia ini yang begitu tua. Tapi, kemudian dia menggenggam tanganku, Nan. Dia berkata bahwa kamu adalah masa depan kami. Dia juga berkata bahwa dia rela melakukan apa saja demi mendapatkanmu dan menghadirkanmu ke dunia ini. Ya, dia begitu mencintai aku dan juga kamu, Nan. Aku beruntung memiliki dia dalam hidupku. Dia seperti matahari bagiku, Nan, meski malam datang, ia sebenarnya ada bersembunyi untuk selalu mengawasiku. Dia memberikan semua yang kubutuhkan. Aku sangat mencintainya, Nan. Dan aku tidak bisa berpikir apa yang akan kulakukan jika dia pergi dari hidupku. Dia adalah sandaran terkokoh dari segala hantaman yang dunia berikan kepada jiwaku yang lemah. Nan, inilah yang akan aku ceritakan kepadamu, Gadis Kecil-ku. Tentang seorang pria hebat, dengan lengan yang kokoh, yang selama ini telah menopang hidup kita dengan begitu teguh. Kamu pasti mencintainya seperti aku, Nan, karena kamu darah dagingnya. Aku adalah sahabat sejatinya dan kamu adalah cahaya yang menaungi kami, begitulah dia pernah berkata. Aku mencintainya dan aku ingin kamu tahu bagaimana rasanya dicintai orang sosok seperti dia. Aku seolah memiliki seluruh isi dunia karenanya.
Waktu itu aku sedang menyelesaikan studi S1 di institut di Bogor, Nan. Bogor adalah kota indah yang sangat sejuk. Aku lahir dan dibesarkan disini. Aku lupa, Nan, mungkin ketika kamu membaca buku ini, Bogor sudah bukan lagi kota yang sejuk seperti dulu. Tapi, aku percaya dalam beberapa tahun kedepan, Puncak tetap memiliki udara sejuk yang pasti membuatmu menggigil. Kamu harus pergi kesana dengan dia, Nan karena mungkin sebentar lagi aku akan meninggalkanmu. Ah, sudah, aku tak akan membahas itu dulu. Di siang hari yang sedikit panas itu, aku berniat pergi kerumah temanku di Jakarta. Aku pergi kesana dengan naik angkutan massal, kereta api. Sungguh, kereta api di Indonesia bukanlah tempat yang nyaman, Nan. Semua kereta yang dipakai saat ini oleh negara kita adalah kereta bekas dari Jepang. Disaat Jepang sudah memiliki kereta super cepat, Indonesia baru memulai dengan kereta kelas ekonomi tanpa AC. Meski ada kereta khusus yang memakai AC, harganya terlalu mahal untuk kantong mahasiswa pas-pasan sepertiku. Jadi, aku memilih naik kereta ekonomi yang begitu penuh sesak dan bau apak. Disini, banyak penjual yang menjajakan barang dagangannya. Mereka menjual makanan sampai buku-buku pelajaran, Nan! Kamu mungkin tak akan merasakan rasanya naik kereta ekonomi saat kamu besar nanti, Nak! Aku yakin negara ini akan mengalami perbaikan dalam beberapa tahun kedepan. Dan mungkin aku tak akan mengalaminya. Nan, disaat penuh sesak dan bau apak itulah aku melihatnya. Berdiri hanya beberapa langkah didepanku. Dia mengenakan kemeja putih bergaris-garis biru tua, celana bahan berwarna hitam dan sepatu pantofel. Ada tas gendong tersampir dipundaknya. Penampilannya begitu mencolok atau hanya aku saja yang terpesona olehnya. Dia tinggi semampai, kutaksir bisa mencapai 180 senti meter. Ada bulu-bulu halus seputar wajahnya, aku duga dia belum bercukur, Nan. Tidak ada hal menarik lainnya sebelum akhirnya dia mendapati aku sedang menatapnya. Dan kini, dia benar-benar menatapku. Oh, Tuhan! Aku tidak mampu berkutik ketika mata cokelat keemasan itu menatap langsung kedalam mataku. Aku tak tahu apa yang kurasakan, malu karena tertangkap basah atau senang karena mendapat perhatiannya. Yang bisa kupastikan adalah tentang pipiku memerah kerena memang kulitku sangat putih. Aku merasa sangat bodoh ketika itu. Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan kepada bapak-bapak penjual tissue. Tapi, entah mengapa aku masih merasakan tatapan matanya terhadapku. Benar, ketika aku mendongakkan kepalaku dengan perlahan, aku mendapati dia sedang benar-benar menatapku. Oh, Nan! Maksudku dia benar-benar menatapku dengan gairah yang tak bisa kukenali. Aku asing namun nyaman dengan gairah semacam itu. Dengan malu-malu aku kembali menatapnya, dan tiba-tiba dia tersenyum kepadaku. Dia tersenyum seolah dia tahu bahwa aku sangat menginginkan senyumnya itu. Aku tersipu sampai rasanya aku ingin rebah ke dasar bumi, Nan. Tak lama kulihat dia menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menatapku lagi. Aku hampir tidak percaya, Nan, karena untuk pertama kalinya aku merasakan gairah semacam itu. Well, aku belum pernah berpacaran seumur hidupku dan aku sama sekali belum tersentuh. Tapi kini aku merasa disentuh. Tatapan matanya menyentuh setiap inchi tubuhku. Andai waktu itu kamu sudah ada, aku pasti akan memelukmu saking senangnya! Aku tahu ini akan dimulai. Aku tahu ketika dia perlahan menghampiriku dan berdiri tepat dihadapanku. Aku mengenalinya, Nan! Aku mengenali mata cokelat keemasan itu dimanapun! Aku sungguh tak percaya akan berjumpa dengannya lagi.
“Hei, kamu ingat saya?”
Butuh waktu beberapa detik untuk aku menyadari bahwa aku harus menjawab pertanyaannya.
“Ya... Tentu.” Aku menjawab kikuk.
Nan, aku seperti hidup dalam mimpi indah yang tak berkesudahan. Kalaupun ini mimpi, aku tak ingin mengakhirinya. Semenjak pertemuan didalam gerbong kereta yang penuh sesak itu, aku dan dia mulai dekat, Nan. Dia tinggal di Jakarta dan sedang menyelesaikan studi S1 disana. Sebentar lagi dia lulus dan akan meraih gelar sarjana dibidang manajemen. Ketika aku bertanya kenapa dia memilih bidang itu, dia berkata bahwa ia sangat ingin jadi pengusaha. Lalu, dia berkata mengapa aku memilih jurusan pertanian. Tentu saja karena aku anak IPA, jawabku waktu itu. Lalu dia bertanya lagi, bukankah dulu aku suka menulis? Tentu saja, jawabku lagi. Dia masih saja bertanya, kenapa aku tidak masuk bahasa? Tentu saja orang tuaku melarang, jawabku lesu. Sebenarnya bahasa adalah mimpiku sejak lama. Namun, kedua orangtuaku bersikeras bahwa jurusan bahasa terlalu sempit untuk masa depanku kelak. Huh, aku berharap ketika kau besar nanti kamu akan melanjutkan mimpiku yang tertunda, Nan! Aku ingin menjadi penulis tetapi aku lebih ingin membahagiakan kedua orangtuaku. Dan semuanya mengalir begitu saja sebelum akhirnya kami memutuskan untuk memulai hubungan itu. Kebahagiaan begitu melingkupi kami, Nan. Dia lulus dengan predikat Cum Laude. Aku menciumnya ketika itu. Jika Kakekmu tahu, mungkin aku sudah dimarahi habis-habisan, Nan. Aku belum memperkenalkan dia kepada Kakek dan Nenekmu ketika itu. Seiring waktu berjalan, aku semakin mencintainya. Meski dia tinggal di Jakarta dan aku di Bogor, kami tetap sering bertemu. Tak jarang kami berkirim surat. Tak lama setelah lulus, dia memutuskan untuk membangun usaha sedikit demi sedikit bersama teman-temannya. Saat itulah aku sadar, betapa dia sosok yang penuh dengan kerja keras. Orang Inggris akan menyebut dia ‘Handsome’ karena dia benar-benar sosok tampan dengan tangan yang dapat melakukan apapun. Aku beruntung, Nan. Meski dia yang terus bekeras bahwa dialah yang beruntung karena memiliki diriku. Tidak, Nan, akulah yang beruntung. Kebahagiaan kami bertambah karena usaha yang dia bangun dengan susah payah berhasil dan saat itulah aku berhasil meraih gelar sarjana pertanian-ku, Nan. Aku memutuskan tidak ada lagi hal yang menghalangiku untuk memperkenalkannya kepada Kakek dan Nenekmu. Sepulang merayakan pembukaan cabang terbaru restorannya, dia datang kerumah, Nan. Aku kira semuanya akan berjalan sulit, namun ternyata tidak. Kakek dan Nenek-mu menyambutnya dengan tangan terbuka. Mereka terlihat sangat bahagia seolah aku telah berhasil mendapatkan seseorang yang bernilai dimata mereka. Dia tak ternilai, Nan. Tak ada dari angka 0 sampai 9 yang dapat menggambarkannya. Kemudian, momen itupun datang. Momen dimana dia menggenggam tanganku ditengah angin laut yang berhembus lembut. Aku masih mengingat ayunan itu, Nan. Ayunan yang aku duduki ketika dia berlutut dihadapanku. Dia menggenggam tanganku erat sebelum mengeluarkan box itu. Aku menutup mulutku karena kaget, aku ingin menangis, aku ingin berteriak. Saat itulah dia mengucapkan janjinya, bahwa dia menginginkanku untuk menjadi sahabat sejati dalam hidupnya. Hiduplah bersamaku, begitulah katanya waktu itu. Tentu saja! Bisikku dalam tangis bahagia. Waktu itu aku berpikir bahwa kami akan hidup bahagia untuk selamanya. Tidak akan ada siapapun atau apapun yang dapat menjauhkan kami satu sama lain.
Nan, aku mencintainya dengan sederhana. Sama seperti napas yang kuhirup, seperti itulah aku mencintainya. Tetapi, dia mencintaiku dengan keagungan dunia yang bahkan sulit untuk kutangguhkan. Saat kusadari itulah, aku merasa takut. Nan, aku akan memberitahumu satu hal, tentang caranya mencintai seseorang. Mencintailah dengan sederhana. Dengan begitu, kamu akan tahu bahwa cinta itu bisa saja hilang dan kembali kepada Sang Pemilik abadi. Cintailah dia selagi kamu bisa, tapi jangan pernah kamu agungkan cinta itu. Jika demikian, kamu yang akan jatuh dalam lubang yang kamu buat sendiri, Nan. Dan, itulah yang saat ini dia alami. Dia tak bisa merelakan atas apa yang menimpaku. Aku di vonis mengidap penyakit mematikan itu, Nan. Tepat disaat usiamu berusia 6 tahun. Dia begitu terpukul dan tak habis pikir dosa apa yang telah kami perbuat hingga kebahagiaan yang kami rasakan begitu terasa semu. Aku memeluknya ketika itu, berkata bahwa semuanya pasti akan berakhir, begitupun dengan hidup. Dia tak mau menerima, Nan, dia bersumpah tak akan pernah kehilanganku apapun yang terjadi. Dia mendatangi semua dokter hebat di negeri ini dengan semua uang yang ia punya. Aku putus asa, Nan. Bukan karena penyakit yang ku derita, tapi karena dia. Bukan itu yang kuharapkan dari seorang lelaki yang dengan tangannya selalu bisa melakukan apapun. Bukan itu yang kuharapkan dari sosok kokoh dan teguh, tempat aku dan kamu bersandar, Nan. Aku memang ingin sembuh, tapi aku lebih butuh dia untuk merelakan. Relakan aku seperti aku merelakan jiwa ini jika memang harus kembali kepada Sang Pencipta. Dengan begitu, aku akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Tahukah kamu bahwa kebahagiaan sejati akan datang ketika kamu berada di titik terendah? Kebahagiaan itu adalah berupa keikhlasan, Nan. Aku butuh dia untuk ikhlas. Tetapi, dia membenci dirinya sendiri, Nan. Dia berkata bahwa ini semua adalah salahnya. Jika saja dia lebih peka, jika saja dia mengetahui penyakitku dari awal, jika saja dia tidak sering pergi untuk mengurus bisnisnya, jika saja, jika saja, jika saja! Dia mengatakan seolah semua adalah salahnya. Tidak ada yang salah, kataku. Kesalahan begitu nyata karena dia belum mampu merelakan. Dia begitu mencintaiku dengan cara yang tak akan mampu aku mengerti. Nan. Sama seperti aku mengharapkan hujan, tapi malah salju yang turun. Sejak saat itulah semuanya berubah. Dia berubah, Nan. Dia menjauhkanmu dariku, dia mengirimmu pergi kerumah orangtuanya. Tak peduli bagaimanapun aku menjerit dan menangis, dia teguh dengan keputusannya. Kamipun pergi kerumah sakit itu, Nan. Tempat yang paling aku benci, namun dia berkeras hati. Semua pengobatan yang katanya terhebat itu malah membuatku semakin sakit dan lemah. Aku seperti kehilangan segalanya, Nan. Disaat aku sudah benar-benar hancur, dia sadar. Dia membawaku pulang dan membawamu kembali padaku. Meski aku tahu, dia masih tidak bisa menerima, Nan.
Malam itu aku tak bisa tidur. Aku memutuskan untuk keluar rumah menghirup udara malam yang mungkin tak akan pernah aku nikmati lagi. Aku masih kuat untuk berjalan, Nan. Aku duduk di taman dekat rumah kita, kamu ingat Nan? Itu adalah taman yang cukup terkenal di Bogor. Aku menatap langit yang penuh bintang-bintang. Aku juga nanti akan menjadi bintang, sebentar lagi. Aku akan kesana. Saat itulah, dia datang, Nan. Dia datang seperti saat kami bertemu pertama kali dulu. Dia tersenyum padaku dan duduk membisu disampingku untuk beberapa saat. Aku tahu aku harus mengatakan apa saja, apa saja, sebelum semuanya menjadi terlambat.
Nan, dibawah langit berbintang itu akhirnya kami saling bercerita untuk pertama kalinya semenjak aku di vonis mengidap penyakit itu. Awalnya aku bercerita bagaimana rasanya mengetahui bahwa aku sebentar lagi akan mati. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, Nan. Dia seolah tidak menyetujui semua yang kukatakan tentang kematian. Tapi, sebenarnya aku tahu bahwa dia tahu. Kami sama-sama tahu sebentar lagi kami akan menghadapi sesuatu yang tak mudah untuk kami tangguhkan. Dan, saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat dia menangis, Nan. Oh Tuhan, rasanya menyakitkan sekali! Dia memelukku dengan erat, seolah dengan cara itu Tuhan tidak akan mencerabut nyawaku. Dia membasahi pundakku, Nan. Dia benar-benar menangis karenaku. Aku merasa bersalah, karena tidak sekalipun dalam perjalanan hidupku aku dengan sengaja menyebabkan rasa sakit pada orang lain. Akibat itu takkan bisa kuenyahkan. Dia tak mengizinkanku berbicara, dia meredam suaraku dengan tangisnya yang begitu menderita. Dia tiba-tiba berlutut dihadapanku, dia meminta sesuatu yang tak akan pernah bisa aku penuhi. Sekalipun aku menginginkan itu. Dia memintaku untuk bersamanya. Dia memintaku untuk tidak meninggalkannya. Aku menggeleng dan dia memeluk pinggangku, dia menangis begitu keras diperutku. Tidak begini, pikirku. Aku tidak ingin rasa sakit seperti ini yang kutinggalkan untuk dia. Aku mencoba mengangkat kepalanya untuk memandang bola mata cokelat keemasan yang selalu kurindukan. Tapi, kini matanya terasa kabur karena air mata. Aku memeluknya, aku berkata bahwa aku ingin pergi dengan pelepasan dirinya. Aku ingin pergi dengan meninggalkan rasa sakit yang begitu kecil, bukan seperti ini. Dia tetap tidak mengerti, Nan.
Nan, sudah berapakah usia kamu saat membaca buku ini? Jika kamu masuk universitas mungkin usiamu sudah menginjak umur 17 tahun. Nan, sedang apa sosok yang paling aku cintai itu saat ini? Ada dua hal yang aku ketahui dengan pasti ketika aku telah lama pergi adalah yang pertama kamu tumbuh menjadi remaja cantik dan yang kedua aku ragu bahwa Ayahmu bisa mencari sosok untuk menggantikanku. Tidak, Nan. Itu munafik sebenarnya. Sedikit terbesit bahkan aku tak ingin ada siapapun yang menggantikan posisiku saat aku pergi. Tapi, setidaknya aku ingin ada yang mengisi kekosongan itu tanpa menyingkirkan aku dari hatinya. Aku ingin wanita itu tak hanya menyayanginya, tapi juga menyayangimu, Nan. Aku ingin kehadirannya mampu membuat Ayahmu kembali hidup. Aku ingin dia kembali melanjutkan hidupnya.
Nan, inilah tujuan aku menulis buku ini sebelum waktuku tiba. Aku ingin meminta sesuatu darimu, Gadis Kecilku. Namun, pertama-tama aku ingin meminta maaf karena aku pergi disaat kamu masih membutuhkan kasih sayangku. Maafkan aku karena membuatmu terlahir di dunia ini dan ikut dalam penderitaan kami. Aku meminta maaf akan hari-hari terakhirku yang membuatmu menangis. Kamu ingat? Kamu jadi lebih sering menangis ketika aku tahu waktuku tak akan lama lagi. Kamu pernah berkata “Aku mau ikut, Ibu.” disaat kamu menangis dan Ayahmu membawamu pergi dari kamar kami karena aku sedang kesakitan. Kami hanya tidak mau merasakan sesuatu yang belum pantas kamu dapatkan. Kamu berhak hidup normal tanpa dibayang-bayangi penderitaan menjelang kepergianku. Penderitaanku saja sudah cukup, Nan. Dan, inilah yang aku minta darimu, Sayang. Apakah Ayah sudah menikah lagi? Jika belum, sampaikan buku ini kepadanya. Aku ingin dia membacanya. Aku ingin dia tahu apa yang kuinginkan untuk hidup kalian. Aku ingin kalian melanjutkan hidup tanpaku, Nan. Apakah Ayah sering pulang larut malam dan sulit tidur? Jika iya, katakan bahwa dulu dia pernah berkata padaku tentang fakta tidur. Dia berkata bahwa orang yang sering kurang tidur akan cepat mengalami kerusakan otak. Katakan padanya bahwa aku akan marah jika dia terus seperti itu. Apakah dia malas membeli kemeja baru padahal dia sering pergi untuk keperluan bisnis? Katakan padanya bahwa dia ketinggalan mode karena kata-kata itulah yang selalu kuucapkan padanya ketika dia enggan membeli kemeja baru. Tabiatnya memang seperti itu, Nan. Lalu, tanyakanlah apakah dia membenciku, Nan? Membenciku karena tidak bisa hidup lebih lama dengannya. Nan, bahkan sampai napas terakhirku, dia tidak pernah bisa berdamai dengan dirinya sendiri.... Dan yang terakhir, tanyakan padanya bahwa ingatkah dia tentang janjinya padaku? Kamu tidak perlu tahu janji apa itu, cukup tanyakan itu padanya. Bagaimana? Kau setuju, Nan?
Untukmu, Nan.
Kamu adalah hal terindah yang dianugerahkan Tuhan untuk terakhir kalinya kepadaku. Jadilah sandaran bagi Ayahmu, karena aku tak lagi bisa. Komohon banggakan dia dengan prestasimu, jangan buat dia kecewa dengan sikapmu. Aku tak perlu memintamu untuk menyayanginya, bukan? Aku yakin sudah kamu lakukan bahkan jauh sebelum aku pergi. Jadilah tim hebat agar kalian berdua bisa mengarungi hidup ini. Aku tak bisa percaya bahwa aku masih bisa menatap kalian melalui bintang-bintang dilangit ketika sudah pergi nanti. Yang bisa aku percaya hanya, aku memang akan pergi untuk selamanya...
2. Surat dari Ayah untuk 'Nan...'
Aku menulis surat ini untuk Anakku
Apa kabar, Nak? Kamu pasti merindukanku. Atau mungkin kamu sudah membenciku saat ini? Jika benar, aku akan merasa sangat sedih. Surat ini kutulis sebenarnya untuk memberitahukan suatu kisah kepadamu, Anakku. Kisah yang selalu membuatku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Kamu mungkin sudah bisa menebaknya. Ya, ini tentang Ibumu, Nak. Kamu ingat setelah kebakaran di kampus kamu berhenti membawa buku itu kemanapun kamu pergi dan menaruhnya di laci kamar? Aku pernah datang suatu hari dan masuk ke kamarmu, Nan. Lalu, aku menemukan buku itu. Jujur, melihat tulisan Ibumu saja sudah membuatku menangis. Namun, aku merasa perlu membaca isinya. Untunglah, ketika kutanya Nessa mengenai kapan kamu pulang, dia berkata bahwa kamu sedang ada acara kampus dan pulang agak larut. Kuliah menyenangkan, bukan? Kamu pasti kaget mendengarnya. Tetapi, itulah. Meskipun aku memutuskan untuk pergi, tapi aku tak pernah kehilangan jangkauan terhapamu, Nak. Tentang anak Hubungan Internasional itupun aku tahu. Tapi, sudahlah, aku tidak mau membahas itu sekarang. Yang ingin aku bahas sekarang adalah kisah dongeng yang awalnya begitu indah, Nan. Tentang satu-satunya wanita yang membuatku terus merasa bersalah karena hanya bisa mengalah atas kepergiannya. Tidak, aku tidak pernah mengalah. Nasib yang memaksaku mengalah, Nan.
Aku tidak perlu menjelaskan dari awal karena itu sudah ditulis oleh Ibumu, bukan? Aku hanya akan melengkapinya, Nan. Aku ingin kamu tahu bagaimana kisah itu dimulai, dari sudut pandangku. Aku ingin mengatakan padamu bahwa sebenarnya aku mulai tertarik padanya sejak kami satu SMA dulu. Dia waktu itu baru masuk SMA dan aku sudah mau lulus. Aku bertemu dengannya di pintu gerbang. Dia begitu sederhana dan itulah yang membuatku tertarik padanya. Namun, waktu itu aku berpikir akan sulit untuk mendekati gadis polos semacam itu. Aku memutuskan untuk tidak mendekatinya. Aku hanya sering memerhatikannya. Dia selalu menundukan kepalanya saat berjalan. Kamu harus tahu, dia murid kesayangan semua guru. Bukan hanya pintar, dia juga menyenangkan, Nan. Dia membuat orang nyaman hanya dengan mendengarnya berbicara.
Yang tidak kusangka berikutnya adalah ketika bertemu dengannya di dalam gerbong kereta api waktu itu. Saat itulah aku merasa sudah waktunya untuk mencoba mendekatinya. Nan, aku tidak menyangka bahwa dia juga merasakan hal yang sama terhadapku. Kami memutuskan untuk menjalin hubungan jarak jauh karena dia tinggal di Bogor dan aku di Jakarta. Aku menjalani hidup seperti anak muda Jakarta kebanyakan setelah orangtuaku memutuskan untuk pindah kesana, bertepatan ketika aku lulus SMA di Bogor. Meskipun dulu Jakarta tidak seseram sepeti sekarang ini, namun kota itu telah membentuk pergaulanku sejak awal. Ratna adalah sosok wanita yang ku butuhkan untuk mengakhiri petualangan cintaku, Nan. Sebelum bertemu dengannya, aku adalah lelaki yang senang ‘bermain-main’. Itulah yang tak pernah Ibumu tahu sampai akhir hayatnya. Yang dia tahu hanya bahwa aku sangat mencintainya. Itu tidak sepenuhnyanya salah, Nan. Aku memang mencintainya. Hanya saja, ada sesuatu yang dia tidak tahu, Nan. Dan aku akan memberitahukannya padamu. Aku pantas mendapatkan kebencian darimu yang harusnya sudah kudapatkan dari dulu jika Ibumu tahu kisah ini.
Kamu ingat bahwa di buku itu Ratna berkata bahwa aku tidak bisa berdamai dengan diriku sendiri sampai napas terakhirnya, Nan? Itu benar. Hanya saja, penyebabnya yang tidak pernah dia ketahui. Pernahkah kamu memiliki rasa bersalah yang teramat dalam terhadap seseorang yang kamu cintai karena orang itu tidak tahu bahwa sebenarnya kamu telah melakukan sesuatu yang pasti jika dia tahu, akan menyakiti hatinya? Itulah aku, Nan. Aku tidak bisa berdamai dengan diriku sendiri karena aku tidak mampu jujur kepadanya. Aku tidak bisa mengatakan kebenaran itu bahkan sampai napas terakhirnya. Aku merasa bahwa kami masih memiliki waktu bersama lebih lama lagi. Aku merasa bisa menebus kesalahanku dengan menjadi suami yang setia sampai kami tua nanti. Namun, Tuhan mengirimkan balasan yang terlampau cepat kepadaku. Dia akan mengambil Ratna waktu itu. Aku hampir gila, Nan. Atau mungkin aku sudah benar-benar gila. Aku tidak ingin dia pergi. Aku ingin dia tetap bersamaku sampai aku bisa menebus semua kesalahanku. Kalau perlu, harusnya penyakit mematikan itu menimpaku, bukan menimpa Ratna. Kehadiranmu juga membuatku semakin merasa bersalah. Aku seolah membuat keluargaku sendiri menderita. Kamu ingin tahu mengapa mataku selalu berkaca-kaca ketika manatapmu? Karena aku merasa melihat Ratna disana. Meski kamu memiliki warna mata sama denganku, tetapi kamu lebih mewarisi tatapan polos Ratna, Nan. Setiap kali aku menatapmu, aku seolah terperosok semakin dalam dan tak mampu merangkak naik lagi. Tidak, Nan, aku tidak pernah membencimu. Aku membenci diriku sendiri. Aku membenci diriku yang tak pernah bisa berkata jujur baik kepada Ratna ataupun kepadamu. Ratna berpikir bahwa aku lelaki teguh dan kokoh. Rasanya menyakitkan mendapatkan cinta yang sederhana dan tulus dari seorang wanita seperti Ratna. Aku tidak pantas dicintai seperti itu, Nan. Aku terlalu hina.
Nan, kamu ingat kejadian di taman yang ditulis Ibumu? Sebenarnya, aku akan mengatakannya malam itu. Hanya saja, bibirku kelu ketika Ratna mulai mengatakan tentang kematian. Perempuan ini akan mati, pikirku waktu itu. Aku menggeleng beberapa kali karena aku mencoba mengusir bayangan tentang dosa yang telah kuperbuat dibelakangnya. Aku tidak bisa mengatakannya, Nan. Yang bisa lolos dari mulutku hanyalah permintaan agar dia tetap tinggal bersamaku. Meski aku tahu itu semua tidak mungkin. Aku takut, Nan. Aku takut tak akan mendapatkan maaf sampai napas terakhirnya jika aku mengakui semuanya. Akhirnya, aku hanya bisa menangis kencang dipelukannya, Nan. Dia membelai rambutku begitu halus waktu itu. Aku benar-benar tidak ingin melepaskannya. Aku lalu berpikir bahwa untuk apa kami bertemu jika akhirnya Tuhan tidak membuatku memiliki dia lebih lama lagi? Semua manusia memiliki kesalahan, tetapi mengapa rasanya tak pernah ada pemaafan untukku. Apakah dosaku begitu besar hingga dunia setelah Ratna tiada terasa begitu memusuhiku? Karena mungkin aku telah menyakiti bidadari sebaik dia. Sejak saat itulah aku mulai membenci diriku sendiri. Aku hanya hidup untuk menjumpai kematian yang lebih cepat. Tujuanku hidup hanya untuk menyongsong hari akhir itu, Nan.
Aku sekarang akan menceritakan kepadamu dosa besar apa yang telah kuperbuat, Nan. Aku waktu itu pulang sangat larut ketika mendapati Ibumu sedang menangis di kamar. Aku segera menghampirinya dan memeluknya erat. Dia lama sekali menangis dan setiap aku menanyakan apa yang terjadi, dia hanya menggeleng. Lalu, dia tiba-tiba berkata bahwa dirinya sebentar lagi akan mati. Aku menatap matanya dan dia mengatakannya, Nan. Dengan air mata yang berlinang dia mengatakan padaku bahwa dia mengidap penyakit mematikan itu. Aku terpaku cukup lama sebelum ikut menangis bersamanya. Hanya saja, aku menyembunyikan tangisku. Aku berkata padanya bahwa dia akan sembuh. Aku akan membawanya ke dokter terhebat di negeri ini. Kau tahu apa yang membuatku pulang selarut itu, Nan? Padahal itu hari Sabtu dan seharusnya aku ada dirumah. Aku berkata bahwa ada urusan bisnis diluar kota. Aku berbohong, Nan. Tidak pernah ada urusan bisnis di hari Sabtu itu. Aku menemui perempuan lain. Inilah yang tidak Ibumu tahu sampai akhir hayatnya. Bahwa aku memiliki hubungan gelap dengan wanita lain. Wanita itu bernama Natalie. Dan kami memiliki anak, Nan. Aku memberi nama Natasha pada bayi perempuanku. Dia lahir setahun sebelum kamu ada, Nan. Ya, aku tidak bisa meninggalkan Natalie meskipun telah bersama dengan Ratna karena dia mengandung darah dagingku. Aku tidak bisa bertanggung jawab ketika itu karena aku sudah terlanjur sangat mencintai Ratna. Akhirnya, aku menawarkan hubungan gelap itu. Ratna tetap prioritasku, apalagi setelah kamu lahir, Nan. Kamu pasti sangat membenciku sekarang, Nan.
Setelah kematian Ratna, aku berhenti berhubungan dengan Natalie. Seharusnya itu aku lakukan jauh-jauh hari sebelum Ratna pergi. Aku baru tahu bahwa Natalie bukan wanita baik-baik, dia sering mendekati beberapa lelaki kaya. Aku merasa sangat menyesal karena memulai hubungan gelap itu. Namun, segalanya sudah terlambat. Apa yang kulakukan di dunia ini, pada akhirnya kembali lagi kepada diriku dengan hukuman yang berkali-kali lipat. Aku sudah tidak ingin hidup. Hanya kamu yang masih membuatku bertahan, Nan. Aku ingin melihatmu bahagia meski aku masih saja tetap tak bisa menghapus jarak diantara kita. Kamu pasti bertanya-tanya dimana Natasha berada saat ini, akupun tidak tahu. Sebenarnya, aku sama sekali tidak ingin menyamakan Natasha dengan Ibunya. Hanya saja, dia sepertinya mewarisi terlalu banyak gen Ibunya. Aku pernah melihatnya di sebuah bar dengan.... mahasiswa HI itu. Tunggu dulu, aku melihat itu jauh sebelum kamu bertemu dengan lelaki itu, oke? Jangan mengambil kesimpulan terlalu cepat. Setiap orang memiliki catatan kelam masing-masing dalam hidupnya, tak hanya aku, tapi mungkin juga lelaki yang kamu cintai itu. Aku hanya berharap bahwa Natasha tidak memasuki kehidupan kalian seperti yang dilakukan Ibunya dulu terhadap aku dan Ratna. Aku berharap bahwa kamu bisa menerima mahasiswa HI itu dengan segala masa lalunya. Jangan kamu hanya mencintainya karena dia bisa memberikan masa depan yang baik, Nan. Kamu juga harus menerima masa lalunya karena mungkin tanpa itu Tuhan tidak akan menghantarkannya kepadamu. Benar kata Ibumu, mencintailah dengan sederhana. Jika kamu berhasil dengan cara itu, kamu akan mendapatkan kesetiaan sejati yang terjalin dua arah. Tidak sepertiku, Nan. Yang mengawali semuanya dengan kebohongan. Mungkin ketika surat ini kamu baca, lelaki yang kamu cintai itu telah menyelesaikan pendidikan S1-nya. Namanya Aldi, benar? Apakah dia pernah berbohong kepadamu. Nan? Jika pernah, apakah dia mengakui kebohongannya? Jika tidak, hubungan kalian akan berakhir seperti aku dan Ratna. Tetapi, jika dia tidak berbohong dan berani mengakui masa lalunya dengan Natasha, bisa jadi dia jodoh sejatimu, Nak. Aku tidak keberatan memiliki menantu secepatnya, asal kamu bahagia. Nan, aku mendengar dari Nessa bahwa kamu bisa memertahankan IPK Cum Laude-mu bahkan meningkatkannya. Aku sangat bangga padamu, Nan.
Nan, kurasa cukup pengakuan dosaku padamu, Anakku. Aku menulis surat ini hanya beberapa jam sebelum aku harus masuk ruang operasi. Ya, aku sudah mendapatkan balasannya, Nan. Beberapa bulan lalu dokter menvonisku menderita kanker otak stadium lanjut. Ketika kematian akan menyongsong, aku malah mencari-cari alasan untuk tetap hidup. Itulah manusia, Nan. Aku tidak bisa berjanji apakah aku akan selamat ketika sudah melewati proses operasi ini. Alasanku tiba-tiba pergi darimu adalah karena ini, Nan. Aku tidak ingin kamu dihantui bayangan kematian orangtuamu untuk kedua kalinya. Biarlah kali ini aku berjuang sendiri. Meski aku sepertinya sudah bisa menebak akhirnya. Aku masih ingin berjumpa dengan kematian itu, Nak. Aku menyayangimu, Nan. Maafkan aku atas semua dosa-dosa yang telah ku perbuat kepadamu dan Ibumu. Kalian berhak membenciku. Hanya saja, aku ingin kalian tahu bahwa aku benar-benar menyayangi kalian. Hidupku telah berakhir sejak bertahun-tahun lalu, Nak. Kehidupan kamulah yang baru dimulai setelah selesai membaca surat ini. Kamu tidak salah. Ratna tidak salah. Harus kuakui, akupun tidak salah. Takdir yang memaksa kita harus menjadi seperti ini. Aku tahu kamu sedang menangis sekarang. Terima kasih, Sayang, karena masih mau menangisi Ayahmu ini. Tolong sampaikan rasa terima kasih Ayah pada Paman Dipta dan Tante Nessa karena telah mau merawatmu. Di akhir surat ada catatan mengenai keinginan Ibumu di buku itu.
Catatan:
1. Ratna aku belum menikah lagi, bahkan sepertinya aku tidak akan menikah lagi karena aku tahu hanya kamu istriku satu-satunya.
2. Aku tidak pernah bisa tidur nyenyak semenjak kematianmu, Ratna. Aku ingat pernah mengatakan itu kepadamu.
3. Ratna, aku sudah membeli kemeja baru beberapa saat setelah aku membaca bukumu, Istriku. Kemeja polos berwarna biru tua. Itu warna kesukaanmu, bukan?
4. Aku tidak membenci dirimu. Aku membenci diriku sendiri, hanya saja, menjelang hari-hari terakhirku, aku mencoba untuk memaafkan diriku sendiri. Itu yang kamu inginkan, bukan? Maaf karena aku baru melakukannya jauh setelah kamu pergi.
5. Tentang janji itu... Aku tidak tahu bisa menepatinya atau tidak. Aku tidak yakin bisa menghadiri acara pernikahan anak kita, Sayang. Aku mungkin bisa menepatinya. Aku akan menyuruh dia untuk pergi ke pantai itu. Ya, tempat dimana aku mengucapkan janji itu. Ternyata kamu masih mengingat ayunan itu, Ratna.
Komentar
Posting Komentar