UNTUK KALIAN YANG MENGINSPIRASI TANPA SENGAJA :’)
Tahukah kamu bahwa dicintai olehmu adalah hal terluar biasa dalam hidupku? Setelah beberapa kali kehilangan, Tuhan mengirimkanmu dengan cara yang begitu indah. Begitu indah hingga rasanya aku memiliki hidup kedua. Hidup kedua yang kemudian kamu satukan dengan hidupmu. Pernikahan. Aku lalu menjerit dan menangis. Tahukah kamu apa yang aku rasakan? Perasaan itu menyusup begitu saja tanpa aku memintanya. Perasaan itu yang kemudian membuatku ragu bahwa kita akan bertahan selamanya. Aku takut karena aku tahu. Firasat itu mencengkram kerongkonganku kuat-kuat dengan energi dinginnya yang sulit kutangguhkan. Aku sungguh ingin mengucapkannya. Tetapi, yang bisa kulakukan hanya menangis tersedu-sedu didadamu. Aku takut. Aku takut. Aku takut.
Hingga hari itu datang, aku masih meragukan kita. Maafkan aku atas firasat ini. Maafkan aku yang tidak tersenyum ketika kamu mengecup keningku sebagai seorang imam baru dalam keluarga kita. Tuhan, mengapa lidahku begitu kelu bahkan saat akan mengatakan kebenaran?
Malam pertama yang sedianya mimpi bagi mereka, kuhabiskan dengan menangis. Aku tahu kamu bingung. Aku takut. Aku takut. Aku takut. Mengertikah kamu arti tangisku dalam dekapanmu? Mengertikah kamu bahwa firasat itu terus membuatku ragu atas kebersamaan kita? Aku mencoba mengatakannya, tidakkah kamu mendengar? Aku mencoba menyampaikannya, tidakkah kamu merasakan? Aku mencoba bahkan sampai aku hampir gila. Aku harus berbuat apa? Mengertilah...
Aku mencium bibirmu dengan putus asa. Dengan air mata yang mengalir deras, aku mencoba menyampaikannya. Tetapi, kamu hanya memintaku untuk tenang. Kamu memintaku untuk tertidur. Hal yang paling tidak ingin aku lakukan. Tertidur membuatku harus menutup mata dan kehilangan jangkauan terhadapmu. Kumohon, jangan lepaskan aku. Pertahankan aku apapun yang terjadi. Jangan serahkan aku kepada siapapun. Kemudian, entah angin dari mana kamu berbicara tentang takdir. Kamu mencoba berbicara dengan begitu lembut seolah aku anak kucing. Kamu membelai halus kulitku seolah aku boneka porselen yang mudah pecah. Aku menjerit dan meronta darimu. Kamu terus mendekapku dan berkata bahwa takdir akan datang kepada siapa saja, termasuk kita. Lalu, aku bertanya padamu disela tangisku, “Bisakah kita mengubah takdir?”. Kamu tersenyum dan menjawab, “Dengan takdir kamu akan belajar menerima dan melepaskan. Takdir datang ketika Tuhan tahu itulah saat yang tepat. Serahkan semuanya...” Entah apa yang membuat kata-kata itu begitu menyentuh relung hatiku yang terdalam. Tanganmu yang mendekapmu terasa begitu ringan. Senyummu dihadapanku terasa begitu menjauh. Dan... aku tahu bahwa aku telah menerima. Aku menerima bahkan mengikhlaskan.
Esok paginya aku melihatmu dengan orang-orang banyak itu. Mereka menyalamimu dan menepuk-nepuk halus pundakmu. Aku tersenyum karena aku tahu... kita sudah menerima. Kemudian, aku melihatmu berjalan mendekatiku. Kamu tersenyum dengan air mata berlinang dimatamu. Aku menyentuhmu melalui desir angin yang ikut menyapa. Aku mendekapmu melalui cahaya matahari yang ikut menghangatkan. Aku menciummu...melalui batu nisan yang juga kamu kecup.
Terima kasih suamiku. Terima kasih atas satu malam panjang yang membuat kita begitu sempurna. Dan, tak ada yang perlu tahu...
(Sempet bingung pas mau ngekhayalin dan coba nulisnya, tapi alhamdulillah kelar...)
Komentar
Posting Komentar