Langsung ke konten utama

SKETSA MERAH

Di malam hari dia membawanya ke rumah kami. Dia yang pertama membuka pintu dan melongokkan kepalanya. Dia tersenyum penuh makna hingga membuat kami penasaran. Beberapa detik kemudian, ia membuka pintu lebar-lebar dan muncullah... oranng itu. Ibu dan Ayah bangkit dan mempersilahkan orang itu untuk masuk.Orang itu tersenyum begitu ramahnya ketika Ibu menyentuh halus tangannya. Orang itu dengan hikmat mencium tangan Ayah dan Ibu. Aku masih terpantri dengan TV yang sedang menatapku melalui tayangannya. Orang itu tersenyum lagi, kali ini dengan begitu manis kepada dia yang datang dari dapur membawa minum dan camilan. Ayah dan Ibu duduk diseberang mereka berdua. Orang itu menanyakan kabar Ayah dan Ibu. Entah mengapa aku tahu bahwa pertanyaan itu tulus, bukan basa-basi seperti orang-orang lain yang dibawa dia sebelumnya. Aku begitu tersentak ketika mendengar namaku dipanggil. Sebagian diriku merasa enggan menghampiri, namun sebagian lagi merasa penasaran terhadap sosok orang itu. Aku menghampiri mereka dan orang itu kini sedang menatapku sambil tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan perlu beberapa detik untuk menyadari bahwa aku harus menyambut uluran tangannya. Dia yang duduk terlalu dekat dengan orang itu menggelayuti tangan kirinya dengan manja. Aku menatap jijik dengan mata disipitkan. Terlalu sebentar, pikirku, ketika orang itu melepaskan jabatan tangan kami. Lagi-lagi orang itu memandang dia kemudian tersenyum. Aku benci senyumnya karena itu untuk dia. Aku tidak suka cara tersenyum orang itu ketika memandang dia. Setelah perkenalan singkat itu, aku terpaksa-dipaksa- masuk kamar karena Ibu mulai memarahiku. Ibu berkata bahwa aku harus tidur karena besok Ujian Akhir Sekolah. Dimana 60% dari nilai tersebut mempengaruhi apakah aku bisa naik ke kelas 6 atau tidak. Dengan enggan aku melangkah pergi menuju kamarku. Setelah beberapa langkah menjauhi mereka, aku menoleh hanya kepada orang itu. Orang itu masih tersenyum kepada dia yang duduk terlalu dekat disampingnya. Dan kali ini, senyum itu membuatku mengepalkan kedua tangan.

Sudah 6 bulan berlalu sejak kedatangan orang itu ke rumah kami. Dan sudah selama itu pula setiap satu minggu sekali orang itu tak pernah absen berkunjung. Selalu dengan rutinitas yang sama. Kedua orangtuaku menyambutnya dan tak beberapa lama meninggalkan orang itu hanya berdua saja dengan dia. Aku pernah memergoki mereka sekali. Saat itu aku keluar kamar karena ingin minum sekitar pukul 11. Ketika menengok ke ruang tamu, aku melihat pemandangan ganjil disana. Kulihat tubuh mereka dekat, tapi tidak seperti biasanya saat orangtuaku ada dihadapan mereka. Mereka terlalu dekat bahkan tubuh mereka seperti merekat. Aku juga mendengar suara-suara aneh yang aku tahu bersumber dari mereka berdua. Aku kemudian menyadari bahwa orang itu sedang memeluk dia--mereka saling memeluk. Aku hanya dapat melihat kepala bagian belakang orang itu menutupi sebagian besar wajah dia. Kepala orang itu bergerak-gerak ganjil disertai rambutnya yang terus diremas oleh dia. Aku melihat bagaimana orang itu tenggelam dalam leher jenjang milik dia. Hal yang kemudian aku sadari adalah aku berteriak dan sesuatu pecah disampingku. Sesuatu yang pecah itu juga seperti meneriakiku balik. Mereka secepat kilat menjauhkan diri satu sama lain. Kulihat orang itu merapihkan kemejanya. Aku juga lihat dia yang kausnya menempel aneh ditubuhnya karena keringat. Aku meringis melihat mereka berdua. Ayah dan Ibu keluar kamar. Ibu memarahiku bahkan mencubit lenganku. Aku berlari ke kamar dengan terisak. Aku melaknat pemandangan apapun yang kulihat tadi. Bukan apa yang mereka lakukan, tapi siapa yang melakukan. Orang itu... Orang itu mencium dia. Kata-kata itu mengundang rasa sakit yang sulit untuk kuenyahkan. Bayangan orang itu membuat tenggorokanku seperti tersumbat. Dengan air mata yang masih menggenang aku membuka kanvas yang ditutupi kain hitam itu. Kanvas itu masih kosong, namun kini aku ingin menuliskan sesuatu yang ajaib disana. Sesuatu dengan menggunakan cat merah kesukaanku. Setelah selesai dan kering aku menutup kembali kanvas itu.

Satu tahun berlalu dan hari itu datang. Hari dimana langit kelabu dan tak lama kemudian turun hujan. Dia pulang kerumah dengan membawa orang itu lagi. Ku lihat dia juga mengenakan jas kebesaran orang itu. Dan... segalanya pun terjadi seperi petir yang menyambar bumi malam itu. Dengan wajah berseri-seri mereka mengabarkan bahwa mereka akan... menikah. Ayah dan Ibu tak percaya karena terlalu bahagia, aku tahu. Mereka kemudian memutuskan pernikahan itu akan dilaksanakan 3 bulan lagi. Ibu menangis dan dia menghampirinya. Ibu menghujani wajahnya dengan ciuman dan dia memeluk Ibu. Ibu berkata bahwa dia adalah anak kesayangan sekaligus kebanggannya. Aku berteriak ketika menyadari pensil mekanik yang sedang kugunakan untuk mengerjakan PR menancap di telapak tangan kiriku. Aku tahu mereka kini menghampiriku termasuk orang itu. Ibu berteriak histeris karena kaget. Mengapa? tanyaku ketika orang itu menyentuh tanganku dengan begitu halus seolah aku ini boneka porselen. Lalu, ia berkata..
              "Tenanglah, adik kecil. Tutup matamu dan ini takkan terasa sakit.."
Dengan patuh aku menutup mata dan dalam sekali sentakan orang itu membuat telapak tanganku terbebas dari pensil mekanik jahanam itu. Aku menangis histeris melihat darah mengucur banyak. Hal terakhir yang kulihat sebelum kegelapan merenggutku adalah... senyum orang itu.

Aku masih bisa merasakan--mungkin imajinasiku saja--hangat tangan orang itu ditanganku meski kejadian itu sudah berlangsung sebulan lalu. Hari ini adalah hari kelulusanku dan aku diterima di salah satu sekolah favorit. Tak ada perayaan berlebihan karena perayaan besar menanti 2 bulan kedepan. Aku selalu menghindar ketika mendapati mereka sedang sibuk mempersiapkan segalanya. Aku hanya anak kecil, begitulah mereka sering menyebutku. Dengan defensif aku menyatakan bahwa mereka tak membutuhkanku. Namun, aku salah. Malam itu pintu kamarku setengah terbuka ketika aku sedang asyik membuat sketsa. Orang itu masuk tanpa mengetuk pintu hingga membuatku terlonjak kaget. Orang itu hanya tertawa dan kini duduk disampingku.
            "Maaf mengagetkan, calon adik ipar..."
Orang itu masih nyengir dan aku tidak tahu dimana letak humor dari kata-kata itu. Aku hanya mengangguk dan meneruskan sketsa yang kubuat. Orang itu mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat buku sketsa ditanganku. Muncul lagi gelenyar aneh saat kulitnya secara tak sengaja bergesekan dengan kulitku. 
           "Aku.. hmm, aku bisa... melihat sketsa yang kamu buat. Hanya saja aku tidak memahami maksudnya.             Maukah kamu menjelaskannya padaku?"
Aku menjelaskan kepadanya. 
          "Ini adalah sketsa tentang... darah." jelasku datar.
          "Darah?"
Dengan bodoh aku menatap wajahnya. Sepasang alisnya bertaut dan menciptakan kesan bahwa orang itu penasaran. 
          "Ya. Kamu lihat ini?"
Aku menunjukkan kotak tak beraturan yang menjadi tempat bernaung darah itu.
         "Ya?"
         "Darah diatas.... kain putih."
Ketika mengucapkan itu, entah mengapa sudut kanan bibir kananku terangkat membentuk seringaian... picik. Aku tahu orang itu tak paham. Tapi, ia akan paham ketika waktunya tiba.
         "Dan... ada apa dibalik kain hitam itu?"
Aku mengikuti arah tunjuknya. Belum waktunya kau tahu, batinku. Aku hanya menatapnya dan orang itu tahu bahwa aku enggan memberitahukannya. Hal yang paling membuat aku terkejut adalah bahwa orang itu... mengerti. Orang itu tidak seperti dia dan orangtuaku yang selalu memaksakan kehendaknya terhadapku. Beberapa menit dalam hening, suara dia memanggil dan orang itupun pergi meninggalkanku. Baru kusadari tak lama kemudian bahwa orang itu menyelipkan cokelat kecil di tangan mungilku. Aku tersenyum.

 Malam itu adalah malam sebelum menjelang hari pernikahan mereka. Aku sedang terduduk dibangku taman seraya memangku buku sketsa kesayanganku. Kurasa angin lam itu membawa bayangan yang sebenarnya tak ingin aku ingat. Seperti film yang diputar acak, terkadang dipercepat dan terkadang diperlambat. Film itu membawa luka dihatiku yang tak mampu kutangguhkan. Perasaan dikucilkan, diabaikan dan dikhinati begitu menggerogoti hati kecilku yang lemah. Bayangan itu tentang mereka. Dia, Ayah dan Ibu. Baru kusadari bahwa Ayah dan Ibu memperlakukan kami begitu... berbeda. Aku dan dia. Mereka selalu mendukung apapun yang dia lakukan. Sedangkan terhadapku? Mereka selalu menentang. Mereka selalu membangga-banggakan dia didepan semua teman-teman mereka. Jika ada yang bertanya tentang aku, mereka hanya menjawab,
           "Anak itu senang sekali melukis. Tapi, dia tidak secemerlang kakaknya, Fara."
Baru kusadari betapa kata-kata itu kini memiliki kekuatan hebat untuk melukaiku begitu dalam. Ayah yang tak terlalu memperlihatkan perlakuannya yang berbeda terhadap kami, pun sama saja. Ayah lebih menyayangi dia daripada aku. Suatu hari kami memiliki rencana berlibur ke kebun binatang, namun tiba-tiba Ayah membatalkannya hanya karena dia lebih ingin berenang ketimbang melihat binatang. Ayah menuruti kemauannya padahal beliau tahu bahwa aku alergi kaporit. Kini, diusianya yang menginjak 21 tahun dan aku 13 tahun, dia tetap tak berubah. Dia adalah seorang Farah kesayangan Ayah dan Ibu. Kenyataan bahwa dia juga sebentar lagi akan hidup bahagia bersama orang itu membuatku hilang akal. Bagaimana mungkin, dia yang telah merebut kasih sayang Ayah dan Ibu dariku akan mendapatkan lelaki yang juga begitu menyayanginya. Dimana Tuhan pada saat ini?
Disaat air mata mulai mengalir deras, kurasakan kehadiran seseorang yang sedang berjalan ke arahku. Orang itu...dan akupun tersenyum getir.


Hari Pernikahan

Hari itupun datang. Hari dimana seharusnya aku menjadi pengiring pengantin wanita. Tapi, tidak. Aku memasuki ruangan pernikahan mengenakan gaun putih milik...mempelai wanita. Aku berjalan dengan darah yang hampir memenuhi sebagian besar gaun indah itu. Kamu lihat, bisikku dalam hati. Setelah sampai dihadapan orang itu, aku berkata,
            "Kamu ingat sketsa darah itu?" kataku sambil tersenyum.
Orang itu tak bergerak dan kulihat kengerian dalam wajahnya. Matanya membelalak dan kulihat urat ketegangan berkedut dipelipisnya.
           "Kuwujudkan dalam bentuk 3 Dimensi. Kau suka?"
Aku tersenyum bahkan tertawa.Tawaku seperti nyanyian merdu yang melepaskan jiwa rapuh dari tubu kecilku. Jiwa yang sedari dulu merindukan penerimaan. Tawaku juga bagai alunan musik indah yang menjalari setiap sel tubuhku. Kali ini aku menang.
           "Aku membunuh Fara karena aku tidak mau dia memiliki kamu."
Itulah yang tertulis dalam kanvas yang tertutup kain hitam.

           


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baru

Akhirnya baru bisa punya blog lagi:) Setelah lebih dari setahun ga bukan blog (dan lupa password), sekarang punya akun baru. Berharap blog ini berguna gacuma bagi temen-temen tapi juga orang banyak. Salam.

UNTITLED

Sudah satu bulan. Empat minggu. Tiga puluh hari. Tiga puluh kali pergantian siang dan malam. Tujuh ratus dua puluh jam. Empat puluh tiga ribu dua ratus menit. Detik mungkin tak perlu kuhitung. Selama itu waktu yang kamu habiskan hanya untuk menghukum dirimu sendiri. Menghukum diri sendiri atas kesalahan yang sepenuhnya bukanlah milikmu. Kamu tak pernah lagi bangun di pagi hari. Kamu tidur sepanjang hari. Kamu tak pernah lagi memandangku. Kamu menatap kehampaan sepanjang waktu. Bahkan, untuk menggerakkan setitik jari saja, kamu tak kuasa. Aku selalu ada disisimu. Selalu. Bahkan sepanjang waktu, hanya untuk melihatmu berdiam diri atau menangis. Kamu tidak mau berbicara. Aku selalu bertanya, apalagi yang salah? Kamu menatapku. Bukan jawaban, hanya tangisanlah yang lolos dari bibir tipismu. Disaat seperti itu aku selalu memeluk tubuhmu yang meringkuk tak bergerak. Apakah kamu tidak sakit? Maksudku, dengan posisi tubuhmu selama sebulan ini diatas ranjang. Tidakkah kamu rindu untuk bangun, ...

Novel Selanjutnya (InsyaAllah)

Aku melihatmu. Lututku goyah tak bersisa. Bisakah aku kembali? Aku ingin mendekap tubuhmu yang kedinginan itu. Mengapa matamu begitu kosong? Kukira dunia telah direnggut begitu kejam darimu. Oh, kamu begitu indah. Kukira akan ada orang lain yang menggantikanku. Aku ingin kamu melihatku. Tapi, kamu melihat menembus diriku. Hatiku begitu terluka sampai ingin menangis. Kamu tahu aku ada disini? Aku selalu ada. Tapi kamu dimana? Bukankah aku yang pergi? Tapi, kenapa kamu yang hilang? Aku hanya pergi tanpa jua menghilang. Aku kembali tanpa membisikan apalagi menyentuhmu. Sekarang, menangislah.. Mengapa kamu masih juga menangis dalam hati? Aku ada disini.. Tak adakah orang lain yang menghiburmu? Tak adakah dia yang membelai rambutmu dan memelukmu hingga kamu sulit untuk bernafas? Aku sungguh ada, kamu hanya tidak mau merasakannya. Mengertilah, aku tidak lagi bernafas. Aku tidak bisa lagi menyentuhmu. Aku tidak bisa lagi menyanyikan lagu-lagu cinta itu. Dan maaf bahwa...